WAYANG 1-2
(HASIL PENELITIAN DIJADIKAN BUKU, BERTUJUAN UNTUK
MEMPERMUDAH BELAJAR MENGGAMBAR WAYANG BALI.
MEMPERMUDAH BELAJAR MENGGAMBAR WAYANG BALI.
BAGI MAHASISWA KRIYA SENI,FSRD ISI
DPS DAN
MASYARAKAT UMUM BAGI YANG BERMINAT)
MASYARAKAT UMUM BAGI YANG BERMINAT)
Oleh :
I Gusti Ngurah Agung Jaya CK, SSN. M.Si. NIP.196880516 199802 1 001
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN PS KRIYA PRODUK
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2013
A. Sejarah
Berkembangnya Seni Lukis Wayang di Bali
Bila
kita amati perjalan sejarah seni lukis wayang Bali, maka akan diawali dengan
asal mula manusia purba, dalam perjalanannya banyak ditemukan bukti-bukti
peninggalan berupa keahlian nenek moyang kita melukis didinding-dingding goa.
Di Bali peninggalan gambar lukisan digoa-goa belum ada diketemukan, tetapi
gambar-gambar yang terdapat pada sebuah nekara dan relief dinding ada ditemukan seperti Di pura Nekara
pejeng dan relief yeh pulu dan goa gajah. Adanya peninggalan ini membuktikan
bahwa karya seni yang berkembang di Bali sudah ada sejak jaman dahulu dan masih berkembang sampai saat ini
(Gung Tjidera, 1995: 11).
Melihat perkembanganya, sekarang seni lukis wayang Bali ,
diakui kebedaradanya sejak jaman pra-sejarah. Buktinya banyak ditemukan pada gedong kuno penuh hiasan
(Nekara) yang berada dipejeng. Nekara berbentuk genderang yang bagian
pinggirnya berhiasakan ragam hias yang berkembang saat itu (Neka Museum, 1986:
8).
Pada jaman
raja-raja di Bali, Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah Pemerintahan
Ugrasena (818 Icaka/ 896 Masehi). Hal ini dibuktikan pada prasasti “Prabhwayang” pada pemerintahan Raja Anak
Wungssu (1045-1047) disebut “Aringgit”
(Goris, 1954: 3).
Kedua Istilah itu berarti “Wayamg”, merupakan perkembangan
lanjutan dari gambar dan relief yang
berkembang sebelumnya. Dalam kitab Insulinda karangan Dr Setyabudi, wayang Bali diperkirakan sudah berkembang pada jaman
Raja Sidodana (tahun 518-630 masehi). Hal ini disebutkan pula pada prasasti Bebetin dalam Buku Parasasti Bali satu oleh
Dr Relof Goris, turunan prasasti Bebetin
halaman 44-45 berbunyi seperti ini. “...
Pande tembaga, pemukul, pegendeng, pabunying, papadaha, parbhangci, pertapukan,
parbhwayang... turun di Panglapuran di Singamandawa, di bulan besakga caka
pancami, rggas bwijaya manggala, di caka 818...”. Artinya sebagai berikut “ pande tembaga, pemukul gambelan,
penyayi, pemukul bunyi-bunyian dari bambu, pemukul kendang, peniup seruling,
penari topeng, dalang wayang... turun dipanglipuran di singamandawa, pada bulan
10, hari ke 5, patorang, hari pasar wijaya manggala, pada tahun 818 caka...” ( Callenfels,
1926: 12)..
Pada sat itulah diperkirakan seni lukis Bali telah ada.
Kemungkinan sudah ada gambar wayang sebagai media sosial budaya dan sudah dikonsepkan dalam bentuk wayang kulit. Selain itu dalam babad
Dalem di Desa Gelgel, Sri Dalem Semara Kepakisan, pernah pergi ke Majapahit dan
pulang membawa hadiah dari Keraton Majapahit, berupa keris Bengawan Canggu,
ikat pinggang Sebuh Jagat dan sekeropak wayang kulit(Musium Bali, 1989: 13).
Pada Abad 14 Pemerintahan di Bali, pindah dari Samprangan ke Gegel, kesenian
wayang semakin mendapat pembinaan dan mengalami perkembangan. Runtuhnya Keraton
Gelgel ke tangan I Gusti Agung Maruthi dari Kekuasaan Dalem Dimade,
membangkitkan semangat putra-putranya untuk merebut kembali Keraton Gelgel.
Setelah kekuasaan di pegang oleh Dewa Agung Jambe, pusat pemerintahan di
pindahkan ke Semarapura Klungkung. Pada masa itu pula kesenian mengalami puncak
keemasan. Raja Dewa Agung Jambe
memanggil I Gede Mersandi seorang warga desa Kamasan untuk melukis. Oleh karena
indahnya hasil karya I Gede Mersandi, maka raja memberikan hadiah sebidang
tanah dan tempat tinggal dan mendapat gelar I gede Modara pada tahun 1771(Kanta,
1978: 35). Hasil karya I Gede Mondara lebih dikenal dengan nama lukisan wayang
gaya Kamasan. Gaya lukisan ini menyebar keseluruh Bali dan dikenal dengan nama
lukisan Bali klasik. Pemerintah
mengabadikan nama I Gede Modara di taman budaya Denpasar yaitu “Mahandra
Mandara Giri Bhuana” yang artinya Modara terkenal di Bali dari dahulu, kini dan
masa yang akan datang (Museum Bali, 1940: 2). Berkuasanya penjajah Belanda,
hampir diseluruh Indonesia tak terkecuali Bali. Pada tahun 1908 adalah awal
komunikasi Bali dengan daerah luar.
Orang-orang Belanda yang begitu
terkesan dengan keindahan dan keunikan ragam seni dan budaya Bali. Menjadikan
Bali sebagai objek pariwisata. Pada
tahun 1926, salah satu orang asing yang bernama Walter Spies yang
menetap di Ubud, dan seorang pelukis Rodolf Bonnet ke Bali tahun 1928.
Kedatangan kedua seniman asing ini memberikan nuansa seni
barat yang sangat kental dengan bentuk anatomi plastisnya. Pada saat itu seni
lukis wayang Ubud berbentuk dekoratif dengan sentuhan kedua seniman barat tersebut menjadi lukisan
wayang Ubud lebih realis dan tetap dengan atribut wayang tetap dipakai sebagai
kekuatan lokal ginius (Moerdowo, 1967: 8).
Pada tahun 1936, kedua seniman barat tersebut bersama-sama Cokorda Gde
Agung Sukawati, mendirikan “Pita Maha” sebagai wadah berkumpulnya seniman Ubud,
dengan tujuan Mempromosikan , meningkatkan mutu dan membantu pemasaran hasil
karya pelukis yang ada di Ubud (Neka, 1986: 9). Melihat perjalanan seni lukis
wayang Bali sudah ada sejak dahulu dan sampai sekarang tetap bertahan dan
lestarai, selain itu kegiatan adat istiadat keagamaan yang ada di Bali sebgaia
alat untuk mempertahankan seni lukis wayang Bali. Selain itu seni lukisan wayag
berkembang pula di daerah tabanan yang dikenal dengan lukisan gaya Kerambitan,
begitu juga di Jembrana ternekal dengan kain pengider-ider yang bergambarkan
wayang gaya Jembrana, di Buleleng terkenal dengan lukisan kaca yang bergaya Nagasepaha.Tema
cerita diambil dari cerita pewayangan mahabharata, Ramayana dan cerita rakyat
Bali, yang berhubungan dengan masyarakat Bali.
B. PROSES MENGGAMBAR WAYANG BALI
1. Pembuatan Kanvas (Nganjinin/Mubuhin. Kain
blacu dengan ukuran yang telah ditentukan, kain
dicuci kemudian dijemur sampai setengah kering. Kain
diremas dan dicelupkan ke dalam bubur
(tepung beras yang sudah
matang) dijemur sampai kering. Tujuan semua ini adalah untuk
menutupi pori-pori
kain. Selanjutnya kain tersebut di gosok (digerus)
secara bertahap diatas
lempengan papan dan digososk dengan kerang(bulih- bulih) sampai rata dan halus.
2. Seketsa(Ngereka) adalah cara
mengkomposisikan tokoh-tokoh wayang yang akan digambar,
kemudian membuat bentuk global wayang dan
atribut wayang dipakai wayang, dan menebalkan
seketsa wayang dengan
tinta hitam
3. Pewarnaan adalah memberikan warna secara
keseluruhan. Adapun teknik pewarnaanya adalah
dengan memberikan warna yang bergradasi
( warna muda kewarna lebih tua/ dari terang kegelap)
Tujuannya untuk memberikan efek yang lebih tinggi
terang dan makin kedalam semakin gelap.
Hal ini dilakukan disebuah
objek wayang. Hal ini yang menyebabkan proses menggambar
wayang menjadi lama.
Setelah itu dilanjutkan memberikan warna hitam pada
masing-masing
pinggir dari seluruh badan wayang, untuk memberikan kesan volume
pada semua badan wayang.
4. Nyawi adalah memberikan ketegasan pada
masing-masing garis wayang dan ornamen yang
digunakan Secara keseluruhan,
sehingga gambar wayang lebih mempertegas bentuk wayang secara
keseluruhan. Selanjutnya memberikan aksen terakhir yaitu
pecahayaan pada beberapa permata
yang ada pada ornamen wayang untuk memberikan kesan hidup.
C. PROPORSI MENGGAMBAR WAYANG
1. Proporsi Rentet adalah
bentuk wayang pendek-pendek yang
diterapkan pada media daun lontar
yang bisa disebut parasi.
2. Proporsi Nyepek adalah bentuk wayang hampir sama
dengan ukuran manusia, biasanya digambar
pada media kain
kanvas.
3. Proportsi Lanjar yaitu bentuk wayang dibuat
panjang-panjang sesuai dengan bidang yang lebar dan
panjang, seperti lanse,
kober dan umbul-umbul.
D. TEKNIK MENGGAMBAR MUKA WAYANG
Contoh: D.
E. HIASAN PADA KEPALA WAYANG (GELUNGAN)
Ada 10 gelungan
wayang, dimana masing-masing ada namanya sesuai dengan nama Wewaran di Bali
(dasawara: pandita, pati, suka, duka, sri,
manuh, manusa, raja, dewa dan raksasa.
E.1. Gelungan Pandita/Ketu adalah gelungan yang digunakan
pada tokoh resi Drona, Bisma dan
Narada.Contoh: E.1.
E.2. Gelungan Pati/Supit Urang adalah delungan seperti
capit udang, yang digunakan pada tokoh
kesatria Bima,Arjuna,
Nakula, Sahadewa dan Hanoman. Contoh:E. 2.
E.3. Gelungan Suka/ Kekendon adalah delungan yang
dipergunakan oleh tokoh wayang Aswatama,
Wilmana, Garuda dan
yang lainnya. Contoh: E.3.
E.4. gelungan Duka/ Pakis Rebah adalah gelungan yang digunakan
oleh tokoh wayang Abimayu.
Contoh:E. 4.
E.5. Gelungan Sri/Papudakan /Candi Rebah adalah gelungan
yang dipergunakan oleh tokoh wayang
Salya, Duryodana
dan yang lainnya. Contoh: E.5.
E.6. Gelungan Manuh/Kekeling yaitu gelungan yang
dipergunakan oleh Darma wangsa/Yudistira.
Contoh: E.6.
E.7. Gelungan Manusa/ udeng-udeng yaitu gelungan yang
dipergunakan oleh Panakawan, Bala-bala
dan rakyat. Contoh: E. 7.
E.8. Gelungan Raja/ Candi Kurung yaitu gelungan yang
dipergunakan oleh tokoh wayang Karna,
Betara Ciwa, Dasarata dan yang lainnya. Contoh 8.
E.9.Gelungan Dewa/Candi Kusuma yaitu gelungan yang
dipergunakan oleh tokoh wayang Dewa,
Baladewa.Kresna,
Rahwana dan sebagainya. Contoh:
E. 9.
E.10. Gelungan Raksasa/ Bok Gambah yaitu gelungan yang
dipergunakan oleh tokoh raksasa, cupak
dan lainnya. Contoh: E,10.
F. PROSES MENGGAMBAR BADAN WAYANG
Contoh F.
G. PROSES MENGGAMBAR KAKI WAYANG
Contoh G.
H. BENTUK KESELURUHAN WAYANG
Contoh H.
I. BENTUK TOKOH WAYANG PADA WUKU
Wuku adalah
hari baik buruk waktu, untuk melakukan kegiatan seperti hari kelahiran,
bercocok
tanam memelihara
binatang, membuat senjata, membuat rumah dan lain sebagainya. Masing- masing
wuku ada Dewa yang
mempengaruhinya. Tokoh dewa pada wuku ini berbentuk gambar wayang.
1. Sinta 2.Landep 3.Ukir 4.Kulantir
5. Tolu 6.
Gumbreg 7. Wariga 8. Warigadean
9. Juluwangi 10 Sungsan 11.
Dunglan 12. Kuningan
13. Langkir 14. Medangsia 15 Pujut 16
Paang
17. Krulut 18. Merakih 19. Tambir. 20 Medangkungan
21. Matal 22. Uye 23.Menail 24.Prangbakat
J. CONTOH BEBERAPA BENTUK GAMBAR TOKOH WAYANG
K. TEKNIK PEWARNAAN PADA TOKOH WAYANG
L. BEBERAPA CONTOH SEKETSA WAYANG SEBELUM DI WARNA DIAMBIL DARI KOLEKSI GUNG WAYAN TJIDERA TAHUN 1991.
M. BEBERAPA CONTOH WAYANG YANG TELAH DIWARNA, DIAMBIL DARI KOLEKSI
DIMENPORA KODYA DENPASAR, KOLEKSI PADA DINDING ISI DENPASAR,
KARYA MAHASISWA KRIYA TAHUN 2010 DAN TAHUN 2012, DAN SENIMAN-
SENIMAN BALI, RELIF WAYANG PADA TEMBOK MUSEUM BALI, DAN RELIEF
YANG TERDAPAT PADA DINDING MCDONALDS KEBOIWA. SEBAGAI
CONTOH GAMBAR WAYANG DAPAT DITERAPKAN PADA MEDIA LAIN.
DAFTAR PUSTAKA
Callenfels, P.V. Van Stein. 1926. Epigraphie Balica I. V.B.E. Kolf & Co.
Goris, Roelof. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: N.V. Masa Baru
Kanta, Made. 1978. Seni Lukis Wayang Kamasan. Denpasar: Sasana Budaya Bali.
Moerdowo, R.M. 1963. Seni Budaya Bali. Surabaya: Fajar Bakti.
Musium Bali. 1940. Katalog Museum Bali. Denpasar.
Stuteja Neka. 1986. Museum Neka Ubud. Gianyar.
Tjidera, Gung Wayan. 1995. Wujud Pisik dan Falsafah Lukisan Wayang Bali. Denpasar:UNUD
Tjidera, Gung Wayan. 2007. Lukisan Wayang Bali. Denpasar:UNUD.
suksma pengetahuannya...dimana tiang bisa beli bukunya?...
BalasHapusKeren gambar2nya . Jadi terinspirasi ...
BalasHapusada bukunya ngga bli...
BalasHapus