Mengenal Tradisi Ngaben
Cara Masyarakat
Hindu Bali Menuju Nirwana
https://katadata.co.id/agung/berita/63294be7b5374/mengenal-tradisi-ngaben-cara-masyarakat-hindu-bali-menuju-nirwana
Penulis: Tifani
Editor: agung
Tradisi Ngaben merupakan upacara adat prosesi pembakaran
jenzah yang dilakukan umat hindu, khususnya di Bali. Upacara Ngaben juga
dikenal sebagai Pitra Yadyna, Pelebon, atau upacara kremasi. Tradisi Ngaben
bertujuan untuk melepaskan jiwa orang yang sudah meninggal dunia agar dapat
memasuki alam atas di mana ia dapat menunggu untuk dilahirkan kembali atau
reinkarnasi. Masyarakat adat Bali percaya, Tradisi ngaben juga dapat menyucikan
roh anggota keluarga yang sudah meninggal dunia menuju ke tempat peristirahatan
terakhir.
Tradisi Ngaben menjadi upacara yang sakral sekaligus semarak,
tidak hanya bagi masyarakat Bali, namun juga para wisatawan. Menurut Tim
Analisa Tempo dalam buku "Mengenal Lebih Jauh Ngaben: Tradisi Pembakaran
Jenazah di Bali", Ngaben berasal dari kata 'beya' yang berarti bekal. Ada
juga yang mengatakan Ngaben berasal dari kata 'ngabu', yang berarti menjadi
abu.
Tradisi Tatung, Pertunjukan Pawai Ekstrem dari Singkawan
Konsep dan Proses Tradisi Ngaben Menurut keyakinan umat Hindu di Bali, manusia
terdiri dari badan kasar, badan halus, dan karma. Badan kasar manusia dibentuk
dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat
cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur
ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakkan oleh atma (roh). Ketika
manusia meninggal, yang mati hanya badan kasarnya saja, sedangkan atma nya
tidak.
Bagi masyarakat Bali, Ngaben merupakan peristiwa yang sangat
penting, karena dengan melangsungkan tradisi ini, keluarga dapat membebaskan
arwah orang yang telah meninggal dari ikatan-ikatan duniawi menuju surga dan
menunggu reinkarnasi. Advertisement dengan membakar jenazah maupun simbolisnya
kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan
Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu
dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam). Membakar jenazah juga merupakan suatu
rangkaian tradisi Ngaben untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5
unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak
menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka. Bagi pihak keluarga, tradisi Ngaben
ini merupakan simbol, bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan.
Jika Ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan dan
menjadi bhuta cuwil. Demikian pula bila yang orang meninggal dunia dikubur di
tanah tanpa upacara yang patut. Hal itu disebabkan, karena roh-roh tersebut
belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia. Maka, perlu diadakan
upacara tradisi Ngaben Bhuta Cuwil. Tradisi Ngaben termasuk upacara mahal.
Mereka yang memiliki cukup dana harus segera melaksanakannya. Jika yang
meninggal dunia seorang pendeta, maka Ngaben harus segera dilakukan, dan tidak
boleh menyentuh tanah.
Proses upacara Ngaben berlangsung cukup panjang. Dimulai
dengan Ngulapin, yaitu pihak keluarga melakukan ritual permohonan izin dan
restu kepada Dewi Surga yang merupakan sakti dari Dewa Siwa. Ngulapin dilakukan
di Pura Dalem. Setelah itu, dilakukan upacara Meseh Lawang yang bertujuan untuk
memulihkan cacat atau kerusakan jenazah yang dilakukan secara simbolis.
Upacara Meseh Lawang ini dilakukan di catus pata atau di
bibir kuburan. Berikutnya adalah upacara Mesiram atau Mabersih, yaitu memandikan
jenazah yang terkadang hanya berupa tulang belulang, dilakukan di rumah duka
atau kuburan. Tahap pertama, adalah upacara Ngaskara, yaitu upacara penyucian
jiwa tahap awal. Dilanjutkan dengan Nerpana yaitu upacara persembahan sesajen
ata bebanten kepada jiwa yang telah meninggal.
Puncak dari prosesi Ngaben adalah Ngeseng Sawa, yaitu
pembakaran jenazah yang dilakukan di setra atau kuburan. Jenazah yang akan
dibakar diletakkan di dalam sebuah replika lembu yang disebut Petulangan.
Petulangan adalah tempat membakar jenazah yang berfungsi sebagai pengantar roh
kea lam roh sesuai dengan hasil perbuatannya di dunia. Usai jasad dibakar,
dilakukan upacara Nuduk Galih, di mana keluarga mengumpulkan sisa-sisa tulang
(abu) jenazah setelah pembakaran.
Prosesi terakhir adalah Nganyut, yaitu menghanyutkan abu
jenazah ke laut, sebagai simbolis pengembalian unsur air dan bersatunya kembali
sang jiwa dengan alam. Dalam tradisi Ngaben, seluruh penghuni banjar (setingkat
rukun warga) harus membantu dalam persiapan. Banyak persembahan yang disiapkan
dan berbagai keperluan arak-arakan yang dibuat. Dua hal penting yang harus
dibuat adalah badé dan patulangan. Badé ialah menara mirip pagoda dengan jumlah
ganjil untuk mengusung jenazah.
Patulangan merupakan sarkofagus dengan bentuk hewan atau
makhluk mitologi tempat jenazah nantinya dikremasi. Badé dan patulangan
memiliki ukuran dan bentuk beragam yang menunjukan status sosial almarhum.
Bahkan sejak 2000-an muncul fenomena badé beroda. Yakni badé yang dipasangi
roda agar bisa didorong. Badé beroda memungkinkan prosesi ngaben menjadi lebih
sederhana tanpa perlu banyak tenaga dan kelengkapan lain yang menelan banyak
biaya.
Mengenal Tradisi Omed-omedan, Ajang Cari Jodoh di Tanah
Dewata Jenis Tradisi Ngaben Tradisi Ngaben di Bali ternyata bukan hanya
dilakukan dengan membakar jenazah. Ada juga upacara mengubur jenazah yang
dikenal dengan istilah ngaben beya tanem. Tradisi ini dilakukan turun-temurun
oleh masyarakat Bali yang tinggal di daerah pegunungan. Upacara ini tak lepas
dari unsur-unsur upacara pada zaman prasejarah hingga masa Bali Kuno sebelum
masuknya pengaruh agama Hindu dari Majapahit.
Dalam pelaksanaan tradisi Ngaben ada berbagai jenis tata cara yang dilakukan, tergantung pada kemampuan keluarga mendiang. Tata cara pelasanaan Tradisi Ngaben juga meyesuaikan kebijakan adat secara turun temurun. Ada beberapa jenis upacara Tradisi Ngaben sebagai berikut: 1. Tradisi Ngaben Sawa Wedana Tradisi Ngaben Sawa Wedana dilaksanakan saat kondisi jenazah masih utuh, atau tidak dikubur terlebih dahulu. Tradisi Ngaben ini dilaksanakan antara 3-7 hari setelah meninggal. 2. Tradisi Ngaben Asti Wedana Asti Wedana adalah upacara Ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini juga diikuti dengan upacara Ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa.
Prosesi ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat. 3. Tradisi Ngaben Swasta Swasta adalah upacara Ngaben tanpa memperlihatkan jenazah maupun kerangka mayat. Hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dan sebagainya. Pada upacara ini, jasad biasanya disimbolkan dengan kayu cendana yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan. 4. Tradisi Ngaben Ngelungah dan Warak Kruron Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi. Sedangkan Warak Kruron merupakan upacara yang dilakukan untuk bayi. Biasanya, upacara ini dilakukan secara massal untuk meringankan biaya tanpa mengurangi makna upacara.