ORNAMEN 1
KOMODIFIKASI
BENTUK PEPALIHAN DAN
RAGAM
HIAS WADAH KARYA IDA BAGUS NYOMAN PARTA, DESA
ANGANTAKA, KAB BADUNG. PROP BALI.
(Matakuliah Ornamen Satu PSRD ISI
Denpasar)
Oleh: I Gusti Ngurah Agung Jaya
CK.SSn.,M.Si.
NIP: 196805161998021001, 120213
1.1. Struktur Wadah
Terciptanya wadah di Bali, digunakan sebagai sarana
upacara ngaben di Bali. Wadah adalah kontruksi bangunan yang
berbentuk menara, menggunakan bahan kayu dan bambu untuk kerangkanya. Bila
diuraikan wadah terdiri atas pepalihan dan ragam hias. Pepalihan adalah bagian-bagian dari wadah sebagai tempat untuk menerapkan
ragam hias, bagian ini membentuk sudut di tiap-tiap bagiannya.
Pepalihan merupakan komposisi garis, batang hiasan yang disusun
bervariasi dalam suatu aturan sesuai fungsi bangunannya. Ragam hias adalah
stiliran dari flora, fauna, unsur-unsur alam, nilai agama dan kepercayaan yang
disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang harmonis (Sulistyawati dkk,
2007: 33).
Penerapan
ragam hias di bangunan tradisional mengandung arti dan maksud tertentu,
penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol, penyampaian informasi dan
komunikasi. Ragam hias mampu memperindah penampilan suatu bangunan yang dihias,
ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai suatu bangunan dan
menyegarkan pandangan (Acwin Dwijendra, 2009: 11). Komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah adalah gambaran secara umum memiliki ukuran tiga dimensi, volume dan isi
atau massa, di bagian-bagian wadah yang
membentuk sudut di tiap bagiannya, bervariasi dalam suatu aturan sesuai dengan
fungsinya sebagai penyampaian informasi dan komunikasi dengan menerapkan stiliran dari flora, fauna,
unsur-unsur alam, nilai-nilai agama
dan kepercayaan. Pengaruh globalisasi memberi imbas
kepada produsen dan konsumen, dengan kesadaran penuh memproduksi wadah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang beragama Hindu di Bali. Tujuannya untuk kepraktisan dalam
melaksanakan upacara pitra yadnya/ngaben. Nilai-nilai estetika yang
terkandung dalam bentuk pepalihan dan
ragam hias wadah lebih banyak
ditampilkan dan dikomodifikasikan, tujuannya untuk meningkatkan nilai jual
dipasaran.
Bentuk
adalah sesuatu yang memiliki ukuran tiga dimensi, volume dan isi atau massa.
Pada hakikatnya massa dan volume ini sebagai pencipta bentuk. Namun tidak
selamanya bentuk mempunyai beraturan seperti kubus, prisma, silinder, piramid,
kerucut dan sebagainya (Susanto dkk, 1984: 27). Bentuk adalah kenyataan yang
tampak secara konkret di depan mata, dapat dipersepsi sesuai dengan apresiasi
yang dimiliki tiap-tiap manusia (Soepratno,2007: 77).
Pepalihan adalah bagian-bagian dari
bangunan sebagai tempat untuk menerapkan ragam hias, bagian-bagian ini membentuk
sudut di tiap bagiannya. Pepalihan
merupakan komposisi garis-garis, batang-batang sebagai tempat untuk menaruh hiasan
yang disusun bervariasi dalam suatu aturan sesuai fungsi bangunannya (Gelebet
dkk, 1981/1982: 420). Komodifikasi bentuk
pepalihan yang digunakan oleh IBNP dalam produksi wadah, yaitu pepalihan bacem,
pepalihan gunung gelut, pepalihan lelengen, pepalihan sancak, pepalihan taman, pepalihan padma, pepalihan bada
dara, pepalihan rongan dan pepalihan tumpang.
Tiap-tiap
bagian pepalihan yang terdapat pada wadah, terdiri atas susunan pepalihan yang berukuran besar, sedang,
dan kecil. (a) pepalihan wayah adalah
pundan berundak tiga seperti anak tangga yang jumlahnya tiga dan masing-masing
mempunyai nama, yang diurut dari bawah, yaitu weton, pai, dan ganggong. (b) pelok adalah pembatas dari tiap-tiap pepalihan wayah. (c) padma terdiri
atas undakan yang berjumlah lima. (d) peneteh
adalah pembatas yang ukurannya dua senti meter. (e) amenlima adalah bidang datar yang persegi empat panjang yang berada
di tiap-5tiap dinding dari wadah. (f)
lelengen adalah ruang segi empat berada
di setiap sudut wadah. (g) gulesebungkul atau cakepgule adalah dua undak digabung menjadi satu dengan pinggiran
menyerupai sudut segi tiga. Komodifikasi bentuk pepalihan wadah karya IBNP
merupakan penyederhanaan dari bentuk pepalihan
tahun 1994, pepalihan yang tidak
dipakai adalah pepalihan penyorog
dan pepalihan bebentet sehingga
bentuk pepalihan berubah secara drastis
mengikuti keinginan produsen untuk membangun landasan atau kriteria-kriteria
dari dan untuk dirinya sendiri, sehingga laku dipasaran. Adapun bentuk pepalihan
yang digunakan oleh IBNP, seperti gambar
1.1 di bawah ini.
1.1.1 Bacem
Pepalihan bacem adalah pepalihan yang terdiri atas dua buah pepalihan wayah (waton, pai, dan ganggong) yang berhadap-hadapan dari bawah dan
atas, di tengah-tengah terdapat satu pelok.
Pelok adalah bidang segi empat
panjang dan dipasang agak ke dalam dari kedua pepalihan wayah (Wirya, 1994: 91).
Pepalihan
bacem yang ada sebelumnya kurang mendapat sentuhan estetika, hal ini disebabkan pakem-pakem yang membatasi ruang gerak
dari estetika, tujuan pada saat itu untuk persembahan, dan menonjolkan karakteristik
dari apa yang terlintas dalam ide konsep seniman pada saat ini. Adapun bentuk pepalihan bacem karya Wirya 1994,
seperti gambar 1.2 dibawah ini.
Di tangan IBNP, pepalihan bacem diramu dengan mempertimbangkan komposisi antara pepalihan satu dengan yang lainnya
diatur sesuai dengan ruang yang disediakan, dan proporsi sesuai kebutuhan estetika
dari pepalihan bacem, yang nantinya
akan di isi ragam hias, pepalihan yang digunakan dalam wadah yang dihasilkan adalah terdiri
atas pepalihan wayah (waton, pai dan ganggong dijadikan satu), ditengah-tengah pelok dengan ukuran yang lebih lebar. Adapun komodifikasi bentuk pepalihan bacem karya IBNP, seperti gambar 1.3 di bawah ini.
Supaya pepalihan
becem lebih menarik dan menonjolkan nilai estetika, maka ragam hias yang
digunakan berupa penanda dan petanda alam yang mewakili alam semesta. Ragam
hias yang digunakan untuk menambah nilai estetika yang tinggi dalam pepalihan bacem karya IBNP, yaitu keketusan
(kakul-kakulan dan ganggong). Patra yang digunakan yaitu: patra punggel, patra ulanda. Kekarangan menggunakan karang muka (bentulu) raksasa
bermata satu dan karang muka gajah (asti).
Selain itu
warna sebagai fukus mata memandang digunakanlah warna-warna cerah yang
memberikan kesan keagungan dan kegembiraan seperti warna kuning emas, merah,
oranye, dan mempertegas karakter dari ragam hias digunakan warna hitam (Sakri.
1986: 410). Warna kuning emas, merah, oranye, memberikan nuansa yang keras
penuh kehati-hatian dan percaya diri dalam penerapan pepalihan bacem lengkap dengan ragam hias. Untuk lebih jelasnya
penerapan warna dan ragam hias yang diterapkan oleh IBNP, seperti gambar 1.4 di bawah ini.
1.1.2 Gunung Gelut
Pepalihan gunung gelut terdiri atas dua peneteh
dan satu pembatas (pelok), bentuknya
hampir sama dengan pepalihan bacem hanya bagian pelok yang berada ditengah dibuat agak
lebar (Wirya, 1994: 92). Adapun bentuk pepalihan
gunung gelut karya Wirya 1994, seperti gambar 1.5 di bawah ini.
Bentuk pepalihan
gunung gelut supaya menghasilkn
nilai estetika dan ekonomi, di butuhkan
kreativitas yang tinggi dan memperhitungkan penanda dan petanda yang diciptakan
untuk menarik konsumen. Bentuk pepalihan
gunung gelut diciptakan oleh IBNP
pada Produksi wadahnya, dengan cara pelok divariasikan untuk menghasilkan
nuansa yang berbeda, dengan cara dimiringkan, bagian bawah didorong ke belakang
kira-kira lima sentimeter, untuk mendapatkan komposisi, proporsi yang estetik
dengan permain garis yang membentuk volume.
Bentuk pepalihan
gunung gelut karya IBNP, sangat
dinamis dan pleksibel, hal ini ditampilkan secara komposisi dan proporsi yang
pas, sehingga memberikan nuansa keseimbangan yang harmonis antara bentuk pepalihan dan ragam hias saling
mendukung untuk menampilkan bentuk estetika yang tinggi. Antara pepalihan dan ragam hias harus merujuk
pada unsur-unsur seni rupa (garis, warna, bentuk, tekstur, keseimbangan,
komposisi, proporsi, perspektif, dan fokus) untuk menonjolkan nilai estetika
(Gelebet dkk, 1981/1982: 421).
Pepalihan gunung gelut
karya IBNP, menampilkan karakternya secara kreatif yang diwujudkan dalam bentuk
pepalihan, antara permainan garis,
proporsi, komposisi, keseimbangan dan fokus sebagai penunjang untuk
menghasilkan bentuk keindahan. Adapaun komodifikasi bentuk pepalihan gunung gelut karya IBNP, seperti gambar 1.6 di bawah ini.
Penunjang
wadah karya IBNP, yaitu ragam hias
yang digunakan adalah motif daun waru
dan yang bagian atas palih waton
menggunakan ragam hias kakul-kakulan,
palih pai menggunakan motif ganggong. Di setiap pojok
digunakan karang
singa bersayap atau karang dedari adalah mahluk kayangan. Penanda dan petanda yang ditampilkan
dari motif daun waru, motif ganggong, kakul-kaulan di ulang-ulang untuk mendapatkan simetris yang
menampilkan karakteristik, proporsi, komposisi, ruang, dan warna sebagai fokus
untuk menampilkan keindahan dan nilai ekonomi. Adapun ragam hias yang bernilai
ekonomi itu ditampilkan pada komodifikasi pepalihan
gunung gelut karya IBNP,yaitu kakul-kakulan,
ganggong, singa bersayap, dan karang dedari, seperti gambar 1.7 di bawah ini.
1.1.3 Lelengen
Pepalihan lelengen adalah pepalihan
yang berbentuk persegi empat dan digunakan pada pepalihan taman untuk menaruh ragam hias patra cina, patra punggel atau
ragam hias yang berukuran besar. Kadang-kadang bentuknya bervariasi sesuai
dengan kebutuhan ruang yang tersedia. Kegunaanya untuk menutupi ruang-ruang
kosong dengan berbagai bentuk supaya penuh (Wirya, 1994: 95). Adapun bentuk pepalihan lelengen karya Wirya 1994, seperti gambar 1.8 di bawah ini.
Pepalihan lelengan merupakan bagian pembatas
antara kaki dan badan wadah atau bentuk
ikat pinggang dari wadah. Bentuk pepalihan lelengen, pepalihan yang digunakan, yaitu dua peneteh bentuk kecil, dan
satu pelok yang bentuknya besar,
untuk mendapatkan proporsi yang tepat.
Bentuk pepalihan
lelengen yang ditampilkan pada wadah
karya IBNP, memberikan kemampuan kreativitas dan keseimbangan dari wadah secara keseluruhan. Ragam hias pepalihan lelengen, yaitu patra cina.
Pepalihan lelengen sebagai ikat
pinggang untuk memberikan pengikat antara bentuk pepalihan dan ragam hias wadah.
Bentuk pepalihan lelengen sebagai
penyeimbang antara pepalihan gunung gelut dengan pepalihan taman, Pepalihan
lelengen sebagai pembatas, sehingga tidak berbaur dengan pepalihan yang lainnya. Ragam hias yang
ditampilkan agak berbeda dengan mengambil pola seperti segi empat panjang.
Walaupun bentuk ragam hiasnya datar tapi menampilkan dinamika antara garis, bentuk, komposisi,
proporsi dan perspektif menuju titik fokus pada estetika (Mudia, 2003: 45).
Pepalihan
lelengen merupakan ide kreatif
dari IBNP, dimana wadah sebelumnya
tidak ada pepalihan lelengen, yang
ada hanya bagian dari pepalihan yang
bentuknya persegi empat yang memberi penyeimbang pada struktur dari pepalihan sancak dan pepalihan taman. Pepalihan lelengen dipergunakan untuk memberikan nuansa yang
berbeda, dengan mempertimbangkan nilai-nilai estetika, dan memberikan penanda
dan petanda sebagai nilai jual kepada konsumen. Komodifikasi pepalihan lelengen karya IBNP yang
bernilai ekonomi itu, seperti gambnar 1.9 di bawah ini.
Ragam hias yang digunakan, yaitu motif daun waru yang disusun menyerupai
lingkaran atau segi empat. Sentuhan akhirnya setiap sudut dihias dengan karang dedari/dewa-dewi. Bentuk ragam hias dikomposisikan antara karang dedari dengan motif daun waru, dengan proporsi yang
seimbang, untuk mencapai tata ruang antara yang dilobangi dengan tidak
dilobangi untuk mencapai kesempurnaan estetika. Selain itu penanda dan petanda
yang ditampilkan dalam bentuk ragam hias pada komodifikasi pepalihan lelengen karya IBNP untuk mendapatkan nilai ekonomi, seperti gambar 1.10 di bawah ini.
1.1.4 Sancak
I
Wayan Wirya mengatakan bahwa, pepalihan
sancak secara keseluruhan. Sesuai dengan lontar Yama Tattwa, bentuk pepalihannya
sama, tetapi kalau diperhatikan satu per satu bentuk pepalihannya berbeda-beda,
yaitu pepalihan sancak alit, pepalihan sancak sari, pepalihan sancak gede, pepalihan sancak agung dan pepalihan sancak keras. (Wirya, 1994:
58). Adapun bentuk pepalihan sancak
karya Wirya 1994, seperti gambar 1.11 di bawah ini.
Di tangan
IBNP, diolah dengan mempermainkan pepalihan,
dengan berbagai ukuran. Komposisi dan proporsi pepalihan diatur sesuai dengan ruang yang disediakan dan difokuskan
pada pepalihan sancak yang di tengah-tengah
sebagai titik pandang, bentuk pepalihan
sancak yang sederhana, menghasilkan
nilai estetika sebagai penanda dan petanda untuk nilai ekonomi. Adapun komodifikasi
pepalihan sancak karya IBNP, seperti gambar
1.12 di bawah ini.
Ragam
hias yang digunakan adalah kakul-kakulan,
ganggong dipakai untuk menghias pepalihan pai, weton, dan ganggong
dengan motif yang diulang-ulang, untuk mencapai proporsi, komposisi dan ruang.
Sedangkan patra cina, patra ulanda, untuk proporsi yang
memerlukan bidang yang lebar. Karang boma,
karang tapel atau karang dedari.
Dipakai untuk menghias bagian sudut dimasing-masing pepalihan, dengan memperhatikan proporsi, komposisi, ruang, fokus,
dan tekstur menghasilkan nilai estetika yang tinggi. Adapun penerapan ragam
hias pada komodifikasi pepalihan sancak karya
IBNP, seperti gambar 1.13 di bawah ini.
1.1.5 Taman
I
Wayan Wirya menerangkan bahwa pepalihan
taman terdiri atas pepalihan taman gede, pepalihan taman agung,
dan pepalihan taman keras. Tiap-tiap pepalihan
taman ini mempunyai ciri dan kegunaan sendiri-sendiri. Pepalihan taman gede adalah seluruh yang mendukung bentuk taman
yang lengkap. Pepalihan taman agung
sebagai bentuk perwujudan dari isi taman seperti: air, tanaman air, binatang
air dan semua yang hidup di taman. Pepalihan
taman keras adalah bentuk bale-bale di tengah taman (Wirya, 1994: 59).
Adapun bentuk pepalihan taman karya
Wirya 1994, seperti gambar 1.14 di bawah ini.
Bentuk pepalihan taman adalah bentuk pepalihan yang disederhanakan, dijadikan
satu dalam sebuah irama pepalihan. Pepalihan ini ditampilkan pada bagian tampak
depan saja sebagai ciri bahwa pepalihan
yang lengkap. Bentuk pepalihan
ini merupakan stiliran dari isi dari taman yaitu seperti: air, tumbuh-tumbuhan,
bunga, buah, ganggang, binatang air, tanah. Semuanya ini ditampilkan dalam
bentuk pepalihan dengan berbagai
ukuran untuk mencapai nilai estetika.
Komodifikasi
bentuk pepalihan sancak pada wadah karya IBNP, menampilkan komposisi
antara pepalihan satu dengan yang
lain dibuat berirama dengan berbagai macam ukuran sesuai dengan keperluan.
Proporsi antara pepalihan satu diatur
penempatannya sesuai keperluan, dengan ruang yang divariasikan, sehingga nilai
estetika lebih menonjol dan dinamis. Permainan bentuk pepalihan dalam pepalihan
taman memberikan permainan bidang
yang bervariasi untuk menghilangkan kesan teratur. Hasil penyederhanaan pepalihan padma negara, pepalihan
sancak alit, pepalihan sancak sari, pepalihan sancak gede, pepalihan sancak agung, pepalihan sancak keras, pepalihan taman agung dan pepalihan taman keras.
Di tangan IBNP
diramu menjadi pepalihan taman, dengan penyederhanaan ini
memberikan nuansa baru dan menghasilkan bentuk estetika dengan pertimbangan
variasi bentuk dan ukuran pepalihan. bentuk
pepalihan tamannya memperhatikan jarak
jauh dan dekat objek wadah
saat diam dan saat diusung, yang mempertimbangan perspektif. Adapun
penanda dan petanda yang ditampilkan pada komodifikasi bentuk pepalihan taman karya IBNP adalah
penyederhanaan, seperti gambar 1.15 di bawah ini.
Ragam hias
yang digunakan adalah motif ganggong
atau daun waru. Patra ulanda, patra punggel
dan patra cina, api-apian. Bagian
belakang menggunakan ragam hias burung garuda dengan sikap terbang. Khususnya
pada pepalihan ganggong bagian atas
menggunakan ragam hias kakul-kakulan, disetiap pojok menggunakan karang tapel dan karang goak untuk menghasilkan nilai estetika.
Penempatan ragam hias dengan mempertimbangkan
komposisi, proporsi, ruang, keseimbangan, dan warna memberikan nilai estetika
yang tinggi. Warna yang ditampilkan dalam pepalihan
taman sangatlah berkarakter dengan menggunakan warna-warna primer (merah,
biru, dan kuning) dan sekunder (ungu. Hijau muda, dan orange). Kedua warna ini
sangatlah cerah sehingga motif ukirannya menonjol dan sangat tajam, warna emas
sebagai dasar penanda dan petanda mendukung untuk mendapatkan nilai-nilai
estetika, selain itu memberikan kekokohan pada pepalihannya. Adapun penerapan ragam hias pada komodifikasi bentuk pepalihan taman karya IBNP, seperti gambar
1.16 di bawah ini.
5.1.6 Padma
I Wayan Wirya
(1994: 60) mengemukakan bahwa pepalihan
padma sebagai bentuk bunga teratai
yang terdiri atas daun bunga, serbuk sari yang distilir menjadi pepalihan wayah, bebentet dan gulasebungkul,
tanpa ragam hias. Pepalihan padma
adalah gabungan dari beberapa bentuk segi empat panjang, yang merupakan
stiliran dari bunga teratai yang sedang mekar, sebagai simbol tempat duduk atau
singgasana Tuhan. Adapun bentuk pepalihan
padma karya Wirya 1994, seperti gambar 1.17 di bawah ini.
Pepalihan padma adalah stiliran bentuk dari bunga teratai yang sedang mekar, sebagai
leher atau pembatas antara pepalihan
taman dan pepalihan badadara menggunakan pepalihan cakepgula. Adapun pepalihan yang digunakan disini adalah pepalihan padma yang berjumlah lima, dari atas berjumlah lima dan dari bawah
berjumlah lima sehingga kalau dihitung jumlahnya menjadi sepuluh, di tengah-tengah
menggunakan pepalihan cakepgula sebagai pengikatnya, semua pepalihan itu diatur untuk mendapatkan
kesempurnaan estetika. Adapun komodifikasi bentuk pepalihan padma karya IBNP,
seperti gambar 1.18 di bawah ini.
Ragam hiasnya yang diterapkan pada pepalihan padma adalah motif ganggong atau daun waru. Gulesebungkul
hanya ditutup dengan kertas emas sebagai pengikat dari bunga teratai yang sedang
mekar.
Tujuan
diberikan motif ganggong atau daun waru. Cakepgula hanya ditutup
dengan kertas emas sebagai pengikat dari bunga teratai yang sedang mekar,
dengan komposisi, proporsi, keseimbangan, ruang, dan fokus, akan mencapai hasil karya yang bermutu yang berdasarkan nilai estetika, yang menarik
indera mata
untuk melihatnya. Adapun ragam hias pada komodifikasi bentuk pepalihan padma karya IBNP, seperti
gambar 1.19 di bawah ini.
1.1.7 Bada Dara
Pepalihan
bada dara adalah ruang yang
berada di atas padmasari yang terdiri
atas tiang dan sendi. Pepalihan bada dara
tidak ada ragam hias yang ditonjolkan (Wirya, 1994: 109). Adapun bentuk pepalihan bada dara karya wirya 1994,
seperti gambar 1.20 di bawah ini.
Pepalihan bada dara bila tidak dihias akan kelihatan ringan tanpa ada
sesuatu yang bisa ditawarkan. Untuk memberikan tawaran estetika maka dihiaslah
dengan menggunakan motif patra cina dan
motif kakul-kakulan dan daun waru/ganggong. Pepalihan bada dara
merupakan ruang yang bisa diolah dengan bentuk garis maupun bentuk keketusan dan pepatran. Sehingga bentuk pepalihannya
tidak berkesan hampa tanpa ada kekuatan
yang membantuk kekokohan dari pepalihan
padma. Komodifikasi bentuk pepalihan
bada dara karya IBNP, seperti gambar 1.21 di bawah ini.
Pepalihan bada dara membutuhkan nilai estetika
yang tinggi diperlukan kreativitas senimannya yang memikirkan garis, bentuk,
warna, komposisi, proporsi, ruang, keseimbangan, dan fokus untuk kesempurnaan
estetika. Penerapan ragam hias pada komodifikasi bentuk pepalihan bada dara karya IBNP, seperti gambart 1.22 di bawah ini.
1.1.8 Rongan
Pepalihan
rongan terdiri atas empat
buah tiang sebagai penyanggah pepalihan
tumpang/atap, sisi bagian tampak dari belakang ditutup penuh, tampak dari
samping di tutup setengah dari tiang. Ruang ini dipakai untuk wadah tempat jenazah ditidurkan (Wirya, 1994: 110). Adapun bentuk pepalihan rongan karya Wirya 1994,
seperti gambar 1.23 di bawah ini.
Pepalihan rongan adalah tempat untuk menaruh jenazah yang sudah di masukkan
dalam peti. Bentuk pepalihan rongan
menampilkan empat tiang dengan komposisi proporsi, ruang dan kesimbangan untuk
mendapatkan kesempurnaan estetika. Penanda dan petanda yang dipancarkan untuk
mendapatkan nilai ekonomi. Adapun komodifikasi bentuk pepalihan rongan karya IBNP, seperti gambar 1.24 di bawah ini.
Ragam hias
yang ditampilkan sebagai besar adalah patra
punggel dengan beberapa variasi. Setiap pepalihan
rongan yang dikerjakan selalu berbeda sesuai dengan kebutuhan atau ruang
yang tersedia untuk menempatkan patra
punggel. Bentuk patra punggel lebih sederhana dan banyak permaian ruang dalam
penerapannya. Hal ini dilakukan untuk mencari kerumitan, komposisi, proporsi
dan perspektif, sehingga enak dipandang mata, selain itu untuk nenentukan fokus
dari wadah secara keseluruhan dan
pencapai keindahan yang tinggi.
Hasil estetika dari rongan karya IBNP adalah
lebih banyak menampilkan permainan ruang baik itu pada penempatan ragam hias
maupun pepalihannya yang memikirkan
garis, ruang, komposisi, proporsi, keseimbangan, dan tekstur untuk menambah
nilai artistik pada wadah yang diproduksinya.
Penerapan ragam hias pada komodifikasi bentuk pepalihan rongan karya IBNP, seperti gambar 1.25 di bawah ini.
1.1.9 Tumpang /Atap
Pepalihan
tumpang/atap digunakan untuk menghindari panas dan hujan saat jenazah dibawa
menuju kuburan dan sebagai simbol kasta atau derajat dimiliki keluarga yang
meninggal (Wirya, 1994: 111). Adapun bentuk pepalihan
tumpang karya Wirya 1994, seperti gambar 1.26 di bawah ini.
Pepalihan tumpang/atap adalah bentuk
hiasan kepala, makin keatas makin mengecil hal ini memberikan suatu imajinasi
bahwa yang mempunyai kematian adalah orang yang berkasta. Ragam hias yang ditampikan
kebanyakan patra punggel dengan
berbagai ukuran, kakul-kakulan dan
mas-masan yang memberikan greget bahwa wadah
ini di buat di Bali, khususnya di Desa Angantaka. Untuk memperindahannya dihias
dengan kupu-kupu warna warni yang berkelap-kelip yang terbang mengelilingi pepalihan tumpang/atap untuk estetika. Secara keseluruhan komodifikasi bentuk
pepalihan tumpang/atap, lebih banyak
menampilkan nilai estetika, seperti warna, komposisi, proporsi, ruang,
keseimbangan, dan perspektif untuk
mendapatkan nilai estetika. Selain itu penanda dan petanda yang ditampilkan
untuk mendapatkan nilai ekonomi. Adapun ragam hias yang diterapkan pada komodifikasi
bentuk pepalihan tumpang/atap karya
IBNP, seperti gambar 1.27/5.27 di bawah ini.
1.1.10 Komodifikasi Bentuk Pepalihan dan Ragam Hias
Karya IBNP
Bentuk pepalihan
dan ragam hias secara keseluruhan wadah
karya IBNP, merupakan gabungan dari unsur-unsur pepalihan antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan, komposisi
pepalihan memberikan irama bentuk
yang bervariasi antara ukuran bentuk
pepalihan yang kecil, sedang dan besar. Proporsi pepalihan disesuaikan dengan ruang yang disediakan, sehingga
menampilkan bentuk wadah yang mempunyai
ciri khas produksinya. Di lihat secara keseluruhan bentuk pepalihan, memancarkan ide-ide kreatif dari Ida Bagus Nyoman Parta.
Dimana antara alur garis yang ditampilkan sangat dinamis mengikuti alur dari pepalihan dan ragam hias, sedangkan komposisi
antara ukuran pepalihan dan ragam
hias memberikan nuansa keseimbangan yang dinamis dan proporsi diatur secara pas
sesuai dengan ruangan yang disediakan. Secara persepktif bentuk pepalihan yang ditampilkan memberikan
keharmonisan dan fokus estetika yang dipancarkan oleh bentuk pepalihan secara keseluruhan.
Secara keseluruhan komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah karya IBNP, sangat memperhatikan
nilai-nilai estetika, seperti bentuk pepalihan
dan ragam hias, warna, tekstur, komposisi, proporsi, ruang, perspektif, dan
sentral poin, yang bertujuan untuk mendapatkan nilai penanda dan petanda dari konsumen
sebagai simbol bahwa karya IBNP dapat dinikmati dari kalangan bawah, menengah,
dan atas. Wadah sebagai sebuah karya
yang bisa dipakai untuk sarana upacara pitra
yadnya/ngaben yang bernilai
ekonomi. Adapun komodifikasi bentuk pepalihan
dan ragam hias secara keseluruhan dari wadah
karya IBNP, seperti gambar 1.28 di bawah ini.
1.2 Struktur Ragam Hias
Ragam hias
adalah stiliran dari flora, fauna, unsur-unsur alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan
yang disarikan ke dalam suatu bentuk keindahan yang harmonis (Sulistyawati dkk,
2007: 33). Penerapan ragam hias di bangunan-bangunan tradisioanl yang
mengandung arti dan maksud-maksud tertentu, penyajian bentuk keindahan, ungkapan
simbol-simbol, penanda dan petanda, dan penyampaian informasi/komunikasi. Ragam hias
mampu memperindah penampilan suatu bangunan yang dihias, ketepatan dan
keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai suatu bangunan dan menyegarkan
pandangan (Soepratno, 2007: 12).
1.2.1 Keketusan Kakul-Kakulan
Wirya (1994:54) mengatakan keketusan yang mengambil bentuk kakul-kakulan adalah stiliran dari ekor
siput yang mempunyai nilai artistik dalam pengulangan bentuk yang disebut
motif. Adapun bentuk rumah siput, seperti gambar 1.29 di bawah ini.
Motif kakul-kakulan
merupakan stiliran dari binatang siput yang hidup di air, motif ini bentuknya
bulat berulang-ulang dengan bentuk dan ukurannya yang seragam (Mayun, dkk.
1978: 35). Bentuk kakul-kakulan
merupakan bentuk ragam hias yang penempatannya dibagian dasar atau awal dari ragam
hias yang akan menghias bagian pepalihan
wadah (Gelebet dkk, 1981/1982: 180). Kakul-kakulan bentuknya seperti sepiral
yang melingkar kekanan sesuai selera seniman. seperti gambar 1.30 dibawah ini
Bentuk kakul-kakulan merupakan cikal bakal atau
awal dari bentuk motif-motif ragam hias yang berkembang di Bali (Mayun dkk,
1978: 61). Jika diamati motif kakul-kakulan selalu ada pada ragam hias
di Bali, dari awal pembentukan motif dan akhir dari bentukan motif selalu awal
dan ujungnya selalu melingkar. Hal ini yang membedakan antara motif-motif ragam
hias dari luar Bali dan bentuknya sama namun ciri khas dari ragam hias bercorak
Bali akan lebih kelihatan (Soepratno, 2007: 34).
Bentuk
kakul-kakulan dilihat dari estetika
merupakan perpaduan antara permainan garis, komposisi, proporsi, warna dan
perpektif. Bentuk kakul-kakulan
adalah karya cipta estetika tinggi yang diciptakan oleh seniman Bali pada zamannya
(Sudarmono dan Wiyadi, 1983: 70). Sampai saat ini bentuk motif kakul-kakulan selalu hadir sebagai
penerapan awal ragam hias, untuk menghias sebuah bangunan suci, rumah tempat
tinggal, dan wadah. Bentuk kakul-kaulan merupakan pawer dari ragam
hias yang ada di Bali (Soepratno, 2007: 60). Sehingga memberikan daya tarik
bagi yang melihatnya. Apabila dalam sebuah bangunan Bali tidak ada bentuk kakul-kakulan terasa hampa tidak ada
greget dalam ragam hias yang diterapkan. Bentuk keketusan kakul-kakulan, seperti gambar 5.30 model kakul-kakulan pada candi kurung, dan gambar 1.31
karya IBNP, dibawah ini.
1.2.2 Keketusan Ganggong
Bentuk ganggong
diambil dari stiliran tanaman air yang mengambang di permukaan air, yang
sering disebut tanaman kapu-kapu. Bentuk ini
merupakan warisan dari orang tuanya yang selalu menekankan dalam memberi
ragam hias pada wadah selalu
diselipkan bentuk ganggong. Sehingga
di setiap wadah yang diproduksi tetap
diterapkan bentuk ganggong. Ganggong adalah stiliran dari tumbuhan
kapu-kapu (pistoi stratiotes L) yang
tumbuh dirawa atau kolam, lekukan-lekukan daun tumbuhan kapu-kapu memberikan
imajinasi kreatif untuk menciptakan motif ganggong
(Mayun dkk, 1978: 37). Ganggong Sebagai hiasan pinggir yang diterapkan
untuk kesempunaan wadah karya IBNP. Adapun tumbuhan kapu-kapu, seperti gambar
1.32 di bawah.
Bentuk ragam hias ganggong adalah bentuk yang selalu menghias bangunan pura,
perumahan dan wadah (Sudarmono dan
Wiyadi, 1983: 119). Ganggong merupakan motif
yang selalu hadir disetiap bentuk pepalihan.
Motif ganggong merupakan hasil kolaborasi antara seniman
dengan tumbuhan kapu-kapu yang memberikan jiwa sebagai simbol awal mula dari
segala yang ada, seperti munculnya tunas sebagai dasar awal munculnya motif-motif keketusan, pepatran, dan kekarangan (Susanto dkk, 1984: 44), gambar 1,33di bawah ini.
Hal ini menjadi ciri khas di setiap
penerapan ragam hias sebuah bangunan gaya Ida Bagus Nyoman Parta. Bentuk ganggong terdiri atas bentuk kakul-kakulan, tunas, lingkaran sebagai
tempat munculnya telinga babi dan di sela-sela diselipkan sehelai daun, dengan
komposisi, proporsi, keseimbangan, ruang
dan tekstur menghasilkan estetika yang sesuai dengan kemampuan
senimannya selalu hadir disetiap bentuk pepalihan
yang kosong. Adapun bentuk keketusan ganggong,
seperti gambar 5.33, dan keketusan ganggong
karya IBNP, gambar 1.34 di bawah ini.
1.2.3 Patra Ulanda
Bentuk patra
ulanda mengambil stiliran dari bentuk realis dari ragam hias belanda. Patra ulanda merupakan stiliran dari
tumbuhan yang merambat seperti tumbuhan samblung yang berwarna kuning kehijauan
dan di setiap batang rambatannya berisi daun yang lebar, bunga buah, bahkan
tunas baru. Bentuk yang indah ini kemudian distilir dan diolah secara
kreativitas menjadi satu motif patra
ulanda. Model tumbuhan samblung yang merambat di tembok, seperti gambar 1.35 di bawah ini.
Patra ulanda
adalah patra yang mendapat
pengaruh dari motif Eropa yang berbentuk rangkaian daun, batang dan buah anggur
yang bersifat realistis. Motif anggur
di tangan seniman Bali distilir menjadi bentuk patra ulanda yang terdiri atas rangkaian daun, batang dan buah. Diperkirakan
pengaruh motif anggur ini bersamaan dengan datangnya orang Eropa di Bali Utara.
Bentuk motif anggur ini hanya dijumpai di puri
Singaraja, di bangunan rumah, pintu gerbang, dan bangunan pura (Mayun, dkk. 1978: 99). Adapun motif ragam hias anggur,
seperti gambar 1.36 di bawah ini.
Secara estetika gabungan dari objek tumbuhan
samblung dan tumbuhan anggur distilir dan diolah oleh seniman Bali menjadi
bentuk patra ulanda, yang merupakan
ide-ide kreatif dari seniman yang mengolah bentuk yang realistis menjadi bentuk-bentuk
yang estetik untuk menambah keindahan dari sebuah bentuk ragam hias yang diterapkan
pada wadah (Wirya, 1994: 88). Di tangan
Parta, bentuk patra ulanda
dikreasikan lagi untuk mendapatkan bentuk patra
ulanda yang dinamis dan menampilkan karakter dari senimannya. Bentuk patra ulanda yang diterapkan pada
dinding pura, ruang yang lebar yang
membutuhkan motif patra ulanda
seperti gambar 1.37 dan patra ulanda yang diterapkan pada wadah karya IBNP, seperti gambar 1.38 di bawah ini.
1.2.4 Patra Punggel
Patra
punggel mengambil
bentuk pola dasar tanaman paku dengan ujungnya selalu melingkar mengikuti alur
dari lingkingan ujung tumbuhan paku, baik arah kanan maupun kiri. Bentuk patra punggel ini masing masing
mempunyai nama yang unik, yaitu: ujung pakis muda, biji mangga, telinga babi, ampas
nangka, tunas muda, dan ekor kalajengking (Mayun,
dkk. 1978: 30).
Patra
punggel adalah patra yang umumnya digunakan untuk melengkapi motif ragam hias keketusan, pepatran, dan kekarangan (Susanto dkk, 1984: 32) Pola patra
punggel masing-masing mempunyai nama, yaitu; ujung pakis muda, biji mangga,
telinga babi, ampas nangka, tunas muda, dan ekor kalajengking, yang disusun dan
dirakit menjadi sebuah bentuk patra punggel. Untuk lebih jelasnya patra punggel dipisah-pisah, seperti
gambar 1.39
di bawah ini.
Bentuk patra
punggel yang diterapkan pada wadah,
baik dalam bentuk patra yang lengkap
maupun sepotong-sepotong, selalu dipakai untuk mengisi
ruangan yang tidak bisa diisi oleh ragam hias seperti
kelompok bentuk keketusan, pepatran dan kekarangan. Secara keseluruhan dalam ragam hias yang diterapkan pada
wadah, lebih dominan dikuasai oleh patra punggel. Patra punggel selalu dipakai untuk menutupi bidang atau ruang yang
tidak bisa dicapai oleh ragam hias lainnya, sehingga patra punggel lebih banyak memancarkan estetika yang artistik (Gelebet,
dkk. 1981/1982: 334). Adapun bentuk patra
punggel yang diterapkan pada dinding pura,
seperti gambar 5.40, dan bentuk patra
punggel yang diterapkan pada wadah
karya IBNP, seperti gambar 1.41 di bawah ini.
IBNP menambahkan Lambang swastika atau kuta mesir tidak dipergunakan dalam produksi wadahnya. Dikarenakan nilai estetika, ekonominya kurang mendukung,
disebabkan oleh proses metatahnya sangat rumit, proses pembuatan lama (Rinu,
1984: 34). Selain itu untuk diolah secara kreativitas tidak pas, karena bentuk
kuta mesir sudah baku. Bila dianalisis secara prosesnya, penerapan lambang swastika atau kuta mesir, mengalami kesulitan diterapkan pada wadah.
Hal ini disebabkan oleh ruangan yang disediakan dalam komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah karya IBNP tidak ada, selain itu motif
kuta mesir membutuhkan tempat yang khusus dan lebar, seperti terlihat pada gambar 1.4 di atas.
1.2.5 Patra Cina
Patra
cina adalah motif patra
yang berkembang di Bali yang dipengaruhi oleh motif hias Tionghoa, yang sudah
berabad-abad mempunyai pengaruh terhadap perkembangan seni ragam hias di Bali
(Murianto dkk, 1982: 67).
Hal ini dikemukakan oleh Made Sulistyawati
dalam bunga rampai, Kontruksi Arsitektur
Tiongkok ke dalam Asritektur Tradisional Bali, mengukapkan bahwa: bentuk
ragam hias patra cina memiliki ciri-ciri menyerupai stiliran bunga bhotan (tanaman khas seperti bunga teratai Bali yang
tumbuh di negeri Cina), antara lain mempunyai batang merambat, bunga berbentuk bundar,
daun tiga helai daun yang sambung, di sela-sela batangnya biasanya terdapat
lingkingan atau (Lengkungan pucuk tumbuhan menjalar Phaseolus radiatus L). Digunakan untuk menghias nirmana datar
(bidang kosong yang datar) seperti pintu berukir, bagian-bagian tiang
(Sulistyawati, dkk. 2008: 73). Untuk memberikan
apresiasi kepada para penikmat seni akan diperlihatkan bentuk tumbuhan bhotan secara detail, seperti gambar 1.42 di bawah ini.
Berkembangnya motif patra cina di daerah
Angantaka disebabkan oleh keragaman para seniman yang membangun pura puseh dan pura desa yang berhasal dari Gianyar, Badung dan Denpasar sesuai
dengan sejarah berdirinya Desa Angantaka (Swastika, 2007: 4). Adapun bentuk patra cina adalah
stiliran bunga mekar dengan serbuk sari yang dikombinasikan dengan bunga yang
kuncup, dengan batang-batang dan helai daun disesuaikan dengan proporsi komposisi
ruang yang disediakan untuk memenuhi keindahan (Mustika, 2010: 134). Bentuk
ragam hias patra cina adalah hasil
kreatifitas dan dikembangkan oleh seniman Bali khususnya yang ada di Desa
Angantaka. Ragam hias yang diserap disesuaikan dengan alam lingkungan Bali,
sehingga muncul kemudian bentuk patra cina
ala Desa Angantaka (Swastika, 2007: 10). Dengan pertimbangan estetika dan kemampuan seniman dalam berolah seni.
Adapun bentuk patra cina diterapkan
pada dinding pura, seperti gambar
5.43 dan bentuk patra cina yang
diterapkan pada wadah karya IBNP, seperti gambar 1,44 di bawah ini.
1.2.6 Karang Bentulu
Kekarangan mengambil bentuk muka
bentulu bermata satu merupakan stiliran dari muka raksasa. Bentuk karang bentulu adalah raksasa bermata
satu yang sebenarnya adalah karang tapel
yang disederhanakan menjadi bentuk ragam hias dengan permainan dari bentuk kakul-kakulan, patra punggel dan patra
ulanda. Peleburan ini menghasilkan bentuk karang bentulu sebagai wujud tanah, dimana berbagai macam makhluk
hidup bisa hidup baik di dalam tanah maupun di atas tanah (Mayun,dkk, 1978: 67).
Karanng
bentulu adalah karang tapel, lebih kecil dan sederhana,
merupakan bentuk abstrak dengan bibir hanya sebelah atas, gigi datar taring
runcing lidah terjulur, bermata satu dan tanpa hidung. Hiasan kepala dan pipi patra punggel yang disatukan merupakan
bentuk kesatuan dari penggabungan keketusan,
kekarangan dan pepatran (Gelebet, dkk. 1981/1982: 360).
Karang
bentulu merupakan gabungan imajinasi alam pikiran seniman dari, pengalaman
melihat kekuatan alam, dan jiwa seni yang mengantarkan bentuk karang bentulu
untuk menuangkan ide-ide kreatif dengan permainan garis, bentuk komposisi,
proporsi, ruang dan warna menghasilkan sebuah karya seni ragam hias yang
bertujuan untuk menghias. Adapun bentuk karang
bentulu yang diterapkan pada dinding pura,
seperti gambar 5.45, dan bentuk karang
bentulu diterapkan pada wadah
karya IBNP, seperti gambar 1.46 di bawah ini.
1.2.7 Karang Muka Asti
Karang muka asti adalah stiliran dari muka gajah. Bentuk karang muka asti adalah mengambil bentuk muka gajah yang diolah secara kreativitas oleh seniman. Bentuk
mata besar, gading yang panjang, belelai yang panjang, mulut dan lidah
mengeluarkan api, pelengkapnya menerapkan ragam hias patra punggel dengan
berbagai ukuran memenuhi bidang yang disediakan, untuk menambah kerumitan dalam
karya estetika (Gelebet, dkk. 1981/1982: 367). Bentuk karang muka asti merupakan stiliran secara abstrak
dari muka gajah yang dilukiskan kepala gajah dengan belalai, taring, gading dan
bermata bulat. Hiasan patra punggel
melengkapi ragam hias gajah ke arah sisi pipi. Kerumitan dalam menciptakan
sebuah karang gajah adalah untuk
memberikan apresiasi bagi indra mata yang melihat, sehingga membawa penikmat
seni untuk merenungi di setiap unsur-unsur seni rupa seperti garis, bentuk,
komposisi, proporsi, ruang dan sebagainya. Untuk mencapai estetika yang lebih
tinggi. Adapun bentuk karang asti
yang diterapkan pada sudut pura,
seperti gambar 5.47, dan bentuk karang
asti yang diterapkan pada wadah
karya IBNP, seperti gambar 1.48 di bawah ini
1.2.8 Karang
Singa Bersayap
Singa
bersayap yang juga disebut Singa ambara raja. Singa bersayap sebagai simbol
untuk pencapaian keagungan dan kekuasaan (Soehadji, M. 1980: ) Karang singa bersayap sebagai simbul perwatakan
manusia yang selalu diliputi oleh amarah, sedih, kekuasaan, nafsu, sesuai
dengan sifat singa untuk mencapai tujuannya
(Gelebet, 1981/1982: 363). Nilai-nilai estetika yang ditampilkan dalam karang singa bersayap adalah ungkapan
seniman dari pengalaman dan ide-ide yang bergelora untuk mewujudkan karya seni
yang mampu memberikan rasa keindahan bagi para penikmat maupun pengguna dari
karya seni tersebut. Adapun bentuk karang
singa bersayap yang diterapkan pada sudut pura,
seperti gambar 5.49, dan bentuk karang singa
bersayap diterapkan pada wadah karya
IBNP, seperti gambar 1.50 di bawah ini.
1.2.9 Karang Dedari
Karang dedari adalah simbol
dari makhluk kayangan yang pada
akhirnya atman dijemput oleh bidadari untuk diajak ke alam surga. Manusia yang meninggal
diharapkan para bidadari menjemputnya
untuk di bawa ke surga, bukan sebaliknya yang menjemput adalah raksasa-raksasa
sebagai prajurit untuk membawa atman
ke alam neraka. Oleh karena itu, muka raksasa jarang ditaruh di depan, karena
melambangkan keburukan bagi sang atman (Nala
dan Wiratmadja, 1997: 180). Biasanya karang dedari ditempatkan sendi-sendi
bangunan pura sebagai penjaga atau
pengantar dewa-dewi turun ke dunia
untuk melihat hambanya yang mengaturkan puja dan puji bagi Tuhan (Gelebet,
1981/1982: 300). Karang dedari
berwujud dewi yang sangat cantik sebagai simbol keindahan yang berpadu dengan
ide-ide kreatif dan jiwa senimannya. Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa
menyenangkan bagi penikmat seni dalam mengamati dan
menghargai sebuah karya seni yang lebih banyak
nenampilkan estetikanya. Adapun bentuk karang
dedari yang diterapkan pada sendi pura,
seperti gambar 1.51, dan bentuk karang dedari
yang diterapkan pada wadah karya IBNP,
seperti gambar 1.51 di bawah ini.
1.2.10 Karang Goak/Gagak
Karang goak/gagak
adalah stiliran dari kepala burung gagak yang selalu terbang mencari makanan
dengan cara terbang mengawasi mangsa dari udara (Sutiari dan Kanta, 1979/1980: 25). Karang goak adalah motif burung yang berwarna hitam. Burung ini mempunyai
kekuatan magis yang selalu dikaitkan dengan kematian. Bila suara burung ini
terdengar itu pertanda ada seorang warga yang telah meninggal. Ini dinyakini
sehingga dalam setiap pembuatan wadah
selalu ditampilkan motif burung gagak/goak
dan penempatan karang goak berada di tengah-tengah antara pepalihan taman dan palih padma.
Motif karang
goak adalah hias pojok yang
ditempatkan di bagian-bagian sudut. Bentuk karang
goak terdiri atas motif daun-daun (simbar).
Mata karang goak besar dan melotot, bergigi runcing, alis mata berhiaskan
manik-manik, rambut berhiaskan patra
punggel (Mayun ddk, 1978: 40). Karang
goak merupakan hasil karya seni yang menampilkan unsur-unsur seni rupa,
dimana disetiap garis, warna, bentuk dan lain sebagainya, penuh dengan
nilai-nilai estetika yang dalam. Sehingga bagi para pengamat seni bisa
berhari-hari untuk menikmati karya seni karang
goak, antara karya seni karang goak dengan penikmat akan saling
mempengaruhi untuk mencapai nila-nilai estetika yang tinggi. Adapun bentuk karang goak yang diterapkan pada sudut pura, seperti gambar 1.53, dan bentuk karang
goak yang diterapkan pada wadah
karya IBNP, seperti gambar 1.54 di bawah ini.
1.2.11 Karang Daun
Karang
daun adalah juntaian yang
terdiri atas bunga dan buah. Hal ini memberikan ragam hias yang bergelayutan ke
bawah dan biasanya diserta dengan karang
goak yang berada di atasnya (Gelebet, 1981/1982: 335). Motif tumbuh-tumbuhan
memberikan bentuk yang gemulai, luwes, karena sifat tumbuh-tumbuhan seseai
dengan karakternya, seperti melilit, melengkung, dan melingkar (Bastomi,
Suwaji. 1986: 7). Dalam menggunakan karang
daun terdiri atas empat lapis kertas
warna-warni yaitu; warna emas, merah, hijau, dan biru bila kena angin akan bergoyang-goyang
dan berirama. Karang daun yang
diterapkan adalah patra punggel
dengan ukuran yang kecil dan besar, untuk memberikan dinamika variasi sehingga
tidak monotun, selain itu untuk memberikan nilai estetika lebih pada karang daun. Karang daun adalah karya seni yang penuh dengan irama garis, yang
memberikan rasa yaman. Hal ini dapat dirasakan ketika mengamati daun-daun yang
menjulur diterpa angin, dengan bergoyang-goyang seakan-akan ingin bebas dari
keterikatan (Nala dan Wiratmadja, 1997: 173). Karang daun dalam karya seni ragam hias memberikan nuasan yang
berbeda dimana irama garis yang meliuk-liuk untuk mencapai nilai-nilai estetika
yang tinggi, sehingga bentuk dan media yang digunakan akan menghasilkan karang
daun yang berbeda pula. Sesuai dengan apa yang ingin ditampilkan oleh para
seniman. Adapun bentuk karang daun
yang diterapkan pada sudut pura,
seperti gambar 5.55, dan bentuk karang daun yang diterapkan pada wadah karya IBNP, seperti gambar 5.56 di
bawah ini.
1.2.12 Karang Boma
Karang boma adalah kepala raksasa yang diukir dari leher ke atas
lengkap dengan ragam hias dan mahkota, diambil dari cerita bomantaka yang menguasai hutan beserta isinya (Marsa, 2007: 5). Karang boma ada yang tanpa tangan dan
ada pula yang lengkap dengan tangan dari pergelangan ke arah jari dengan jari-jari
mekar. Umumnya dilengkapi patra ulanda,
patra punggel, patra cina dan artibut lainnya sebagai pelengkap (Gelebet,
1981/1982: 359 ). Dalam penerapan karang
boma pada wadah, digambarkan
dengan boma yang mempunyai sayap yang
besar, kedua tangan dibuka lebar dan ibu jari ditekuk ke dalam. Sayap yang
besar menggambarkan bahwa orang yang meninggal dapat diampuni kesalahan-kesalahannya
terhadap unsur-unsur pancamahabhuta
yang berada pada badan jasmani manusia.
Karang boma merupakan simbol dari gunung,
dimana segala sesuatu yang berbau kekuatan alam selalu digambarkan dengan wujud
yang menyeramkan. Dimana wujud itu yang selalu menghantuai hidup manusia dialam
ini baik dalam keadaan sadar maupun tidak sadar (Nala dan Wiratmadja, 1997:
120). Supaya menghilangkan rasa takut,
para seniman memadukan ide dan konsep untuk mewujudkan kedalam karya seni.
Penuangan kedalam unsur-unsur seni rupa memberikan rasa estetika yang tinggi,
sehingga bentuk yang menakutkan menjadi
suatu yang indah dan sedap dipandang mata. Adapun bentuk karang boma yang diterapkan di atas pintu masuk pura, seperti gambar 5.57, dan bentuk karang boma yang diterapkan pada wadah karya IBNP, seperti gambar 1.58 di bawah ini.
5.2.13 Karang Burung
Garuda
Burung garuda dengan sikap tegak siap
terbang, sayap dan ekor mengepak melebar. Biasanya burung garuda yang lengkap
dengan memegang ekor dari ular yang
memilit kura-kura raksasa. Di pundak burung
garuda duduk Dewa Wisnu dengan
membawa tirta amerta (Gelebet,
1981/1982: 362). Atribut burung garuda
dilengkapi dengan membawa Kendi berisi air kehidupan, sebagai simbul atman itu tidak bisa mati hanya pinda
kealam lainnya ( Ardana, 1983: 27). Burung garuda digambarkan sedang terbang,
dengan sikap tangan dan kaki siap untuk menerkam. Disimbolkan bahwa atman yang
telah diaben akan cepat ditangkap oleh burung garuda dan diberikan tirta
keabadian, supaya nantinya atman
tersebut tidak lagi turun ke dunia, melainkan menyatu seutuhnya dengan Tuhan (Nala
dan Wiratmadja, 1997: 143). Burung
garuda adalah simbol kekuatan yang membela kebenaran, dalam mewujudkan burung
garuda lewat permainan unsur-unsur seni rupa dan media yang digunakan, akan
memacu seniman untuk menampilkan karya seni yang lebih baik. Tujuannya supaya
karya yang dihasilkan mencapai nilai-nilai estetika, dan memberikan kepuasan
lahir batin bagi seniman dan penikmatnya. Bentuk karang burung garuda, seperti gambar 5.59, dan bentuk karang burung garuda karya IBNP, seperti
gambar 1.60 di bawah ini.
1.2.14 Karang
Angsa
Karang
angsa adalah binatang yang disucikan oleh umat Hindu, karena angsa mampu
membawa atman menuju alam nirwana dengan cara mengepak-mengepakan sayapnya yang
siap mengatar atman menuju surga (Nala dan 112 Wiratmadja, 1997: 132). Angsa adalah kendaraan Dewa Brahma yang dianggap mampu
menjauhkan manusia dari sifat-sifat buruk, dan bila lahir kembali sebagai
manusia, akan menjadi orang yang baik dan taat agamanya (Gelebet, 1981/1982:
247).
Angsa
adalah makhluk Tuhan yang mampu memilih maknanya dengan baik, dengan cara
memisahkan kotoran yang melekat di makanannya. Angsa digambarkan dengan
berwarna putih, berartibut warna emas sebagai lambang atman yang diaben cepat bersih dan langsung bisa menyatu dengan
Tuhan (Purwita, 1997: 82).
Karang angsa diolah dalam bentuk karya
seni, dengan menggunakan unsur-unsur seni rupa, seperti garis, warna, tekstur,
komposisi, proporsi, ruang, dan perspektif. Bertujuan untuk mencapai
nilai-nilai estetika dalam ragam hias. Adapun bentuk karang angsa yang diterapkan pada dinding pura, seperti gambar
5.61, dan bentuk karang angsa yang
diterapkan pada wadah karya IBNP,
seperti gambar 1.62 di bawah ini.
1.3 Struktur Seni Rupa
Di dalam
mewujudkan pepalihan dan ragam hias wadah, Ida Bagus Nyoman Parta berusaha
merealisasikan konsep-konsep dan ide-ide kreatif yang telah direncanakan.
Bentuk pepalihan dan ragam hias
diolah dengan menggunakan unsur-unsur seni rupa, yaitu bentuk, komposisi,
proporsi, irama, warna, tekstur, keseimbangan, fokus, dan perspektif. (a) bentuk
adalah sebuah titik bergerak, jalan yang dilalui membentuk garis. Garis
mempunyai panjang tanpa lebar, mempunyai kedudukan dan arah, kedua titik berupa
garis, garis merupakan sisi sebuah bidang. Bidang adalah jalan yang dilalui
seutas garis yang bergerak ke arah yang bukan arah dirinya, membentuk sebuah
bidang, bidang yang mempunyai panjang dan lebar tidak tebal, bentuk panjang,
lebar dan tebal (Ruta, 2005: 18). (b) komposisi adalah ukuran bentuk yang
ditempatkan disebuah bidang, dengan ukuran bentuk besar kecil sesuai kebutuhan.
Proporsi adalah bentuk yang berbeda diatur dengan ukuran yang sama sesuai
dengan kebutuhan tempat bentuk itu diterapkan (Buda. 2008: 140). (c) irama
adalah bentuk yang mempunyai gerakan ke kiri, ke kanan, ke bawah, ke atas, ke samping,
ke belakang, dan ke tengah sesuai dengan bentuk yang diinginkan (Murianto dkk.
1982: 66). (d) ruang adalah bentuk yang mempunyai ruang positif dan ruang
negatif. Ruang positif adalah semua bentuk positif mengandung ruang positif,
tetapi ruang positif tidak dicerap sebagai bentuk positif. Demikian pula semua
bentuk negatif mengandung ruang negatif, tetapi ruang negatif tidak selalu
dicerap sebagai bentuk negatif (Sakri. 1986: 35). (e) warna adalah sebuah
bentuk yang berada dalam ruangan dibedakan dari sekelilingnya karena warnanya.
Warna di sini digunakan dalam arti yang luas, tidak hanya meliputi semua
spektrum, tetapi mencakup juga warna netral(hitam, putih, dan kalbu) dengan
segala ragam nada dan ronanya (Purnama, 2009: 10). (f) tekstur adalah bentuk
yang mempunyai permukaan dapat polos atau berkurai, licin, kasap, kasar, barik,
dan mengerikan, dapat memukau indera raba dan mata (Sukarya, 2011: 149). (g) keseimbangan
adalah bentuk, komposisi, proporsi, irama, warna, tekstur, mendapat tempat
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan yang diperlukan untuk menujang estetika
(Bastomi, 1986: 95). (h) fokus adalah bentuk yang memberikan nuansa yang
berbeda sehingga menjadi titik sentral dari bentuk estetika (Mustika, 2010:
123). (i) perspektif adalah bentuk yang memberikan titik pandang mata. Sudut
mata burung adalah cara pandang mata melihat bentuk dari atas seperti burung.
Sudut mata katak melihat bentuk dari bawah seperti seekor
kodok. Titik sudut panda dengan menggunakan garis horison, garis horison adalah
titik jauh pandang mata manusia memandang bentuk (Sakri. 1986: 410). Kesepuluh
unsur-unsur seni rupa sebagai cara menilai bentuk-bentuk seni rupa seperti
lukisan, patung, kriya dan yang lainnya yang berhubungan dengan bentuk seni
rupa khususnya bentuk pepalihan dan
ragam hias wadah karya Ida Bagus
Nyoman Parta.
1.3.1 Ruangan
Ruangan adalah bentuk yang mempunyai ruang
positif dan ruangan negatif. Ruangan positif adalah semua bentuk positif
mengandung ruangan positif, tetapi ruangan positif tidak dicerap sebagai bentuk
positif. Demikian pula semua bentuk negatif mengandung ruang negatif, tetapi
ruang negatif tidak selalu dicerap sebagai bentuk negatif (Sakri. 1986: 35).
Ruangan yang dikomposisikan, diproporsikan,
disesuaikan dengan bentuk pepalihan
yang tersedia ( Sukarya, 2011: 156). Ruangan yang digunakan adalah menggunakan
bentuk negatif, ruang negatif lebih banyak ditonjolkan dengan memperhatikan
komposisi, proporsi, keseimbangan dan perspektif, dengan cara menghilangkan
ruangan positif dan hasilnya nanti ruang positif yang menonjol dengan bidang datar
emas (Rinu,1984: 68). Permainan ruang yang begitu apik dan memenuhi standar
dari kriteria nilai estetika, akan membangun penanda dan petanda yang mempuyai
nilai ekonomi di mata konsumen, sehingga mendapat
pangsa pasar yang baik. Adapun permainan ruang yang
diterapkan pada wadah karya IBNP,
seperti gambar 1.63 di bawah ini
1.3.2 Tekstur
Tekstur
adalah bentuk yang mempunyai permukaan dapat polos atau berkurai, licin, kasap,
kasar, barik dan mengerikan, dapat memukau indera raba dan mata (Sukarya, 2011: 149). Tekstur yang ditampikan
dalam penerapan ragam hias pada wadah adalah kertas emas diremas-rermas
secara merata dan diulang-ulang untuk mendapatkan tekstur yang diinginkan.
Selanjutnya ditempel pada pepalihan yang
telah disiapkan, terakhir ditempel dengan kertas berwarna yang telah ditatah
dengan teknik tata kulit negatif. Adapun penerapan tekstur pada wadah karya IBNP, seperti gambar 1.64 di bawah ini.
1.3.3 Warna
Warna
adalah sebuah bentuk yang berada dalam ruangan dibedakan dari sekelilingnya karena
warnanya. Warna di sini digunakan dalam arti yang luas, tidak hanya meliputi
semua spektrum, tetapi mencakup juga warna netral (hitam, putih dan kalbu)
dengan segala ragam nada dan ronanya (Purnama, 2009: 10). Warna yang dominan
adalah warna emas, dengan perpaduan warna primer adalah warna pokok, yaitu
merah, kuning, dan biru. Warna sekunder adalah warna yang dihasilkan oleh
pencapuran warna primer dengan primer, yaitu ungu, hijau, oker. Warna hasil
pencampuran warna primer, sekunder dengan warna putih yaitu: hijau muda, kuning
muda, merah muda, dan oker muda. Semua warna ini dikomposisikan, diproporsikan,
dengan keseimbangan bentuk ragam hias dan perspektif sebagai penentu akhir
bentuk ragam hias secara keseluruhan.
Damid Susanto dkk (1984: 31), mengatakan dalam
bukunya bahwa: setiap warna menampilkan pancaran yang kuat sebagai ciri-ciri
dari karakter yang melekat padanya. (a) merah adalah warna panas yang mempunyai
getaran, memberikan suasana gembira, berani, marah dan daya tarik. (b) kuning adalah
warna panas yang memberikan suasana riang, terang, daya tarik, kebesaran,
harapan, dan kebencian. (c) biru adalah warna dingin yang dapat memberikan
suasana dingin, beku, setia, dan damai. (d) oranye adalah warna panas dan
menjadi puncak kepanasan, memberikan penuh harapan, riang, kekerasan, dan
kekuasaan. (e) hijau adalah warna dingin yang memberikan suasana damai,
kehidupan, tumbuh, dan harapan. (f) ungu adalah warna dingin yang memberikan
suasana ngeri, gelisah, kekalutan, terpendam, dan impian. (g) hitam adalah
warna netral yang memberikan suasana sedih, magis, berat, kuat, sempit, dan
tragis. (h) putih adalah warna netral yang memberikan kesucian, kematian,
bersih, ringan, dan luas. Tiap-tiap warna di atas bisa dinetralkan dengan cara
mecampurnya dengan warna yang menghendaki keselarasan, keharmonisan, sedap
dipandang mata. Adapun penerapan warna secara keseluruhan pada karya IBNP,
seperti gambar 1.65 dibawah ini.
1.3.4 Perspektif
Perspektif adalah bentuk yang memberikan
titik pandang mata. Sudut mata burung adalah cara pandang mata melihat bentuk
dari atas seperti burung. Sudut mata
katak melihat bentuk dari bawah seperti
seekor kodok. Titik sudut pandang dengan menggunakan garis horison, Garis
horison adalah titik jauh pandang mata manusia memandang bentuk (Sakri. 1986:
410). Wadah menggunakan persepektif
yang dilihat oleh anak kecil atau orang jongkok/duduk bersila, dan menggunakan
perspektif orang dewasa berdiri. Mata sebagai pancaindera manusia yang
menentukan bagus tidaknya bentuk wadah itu dilihat dari jarak dekat,
jarak jauh dan pada saat jongkok/ bersila.
Bentuk pepalihan dan ragam
hias akan dikatakan bagus bila lolos dari kriteria persepektif yang disebutkan.
Tidak diragukan lagi apabila wadah
itu diusung akan kelihatan pas antara proporsi, komposisi, keseimbangan antara
manusia yang mengusung dengan ketinggian wadah
menghasilkan persepektif yang sempurna untuk menunjang estetika dan etika.
Perspektif merupakan cara memandang objek
dengan menggunakan indera mata, dengan menarik garis dari samping kiri ke
samping kanan dan letaknya ditengah-tengah, sebagai titik pandang. Bila bentuk wadah ditaruh ditengah-tengah baik
diusung maupun ditaruh ditanah. Para penikmat estetika akan bisa langsung
mengetahui apakah bentuk wadah itu
kependekan atau kepanjangan, atau sebaliknya bentuk wadah itu melebar kesamping atau keatas. Bila kriteria itu semuanya
pas akan mendapatkan nilai ples dalam perspketif, bila tidak apa yang
ditampilkan baik itu bentuk, warna, komposisi, proporsi, ruang, keseimbangan
akan berdampak negatif. Disinilah para seniman produksi wadah harus lebih kreativitas untuk
mendapatkan nilai ekonomi dalam pasar. Adapun perspektif wadah karya IBNP pada saat di usung menuju kuburan, seperti gambar 1.66 di bawah ini.
1.3.5 Teknik Menatah
Kulit
Teknik menatah
kulit adalah suatu cara mengerjakan ragam hias untuk wadah. Teknik tatah kulit memudahkan dalam pekerjaan. Satu gabung
tatah kulit dapat dikerjakan sekaligus sehingga mempercepat produksinya. Menatah kulit memberikan reringgitan
atau kerumitan dalam penampilannya. Jenis metatah kulit ada dua macam, yaitu metatah
kulit positif adalah bentuk ragam hias yang memperlihatkan bentuknya dan latar
belakanng dilubangi sehingga bentuk ragam hias menonjol, Metatah kulit negatif
adalah bentuk ragam hias dihilangkan sehingga latar belakang masih ada, dengan
bantuan bidang datar di belakangnya bentuk ragam hias akan kelihatan.
I Made
Rinu (1984: 57) mengatakan bahwa menatah kulit adalah suatu cara mempermudah
seniman dalam memperbanyak ragam hias yang sama. Teknik ini merupakan teknologi
yang sederhana untuk kemudahan dalam proses pekerjaan. Hampir sama dengan menggunakan
mal adalah bentuk yang telah diselesaikan dan dipakai untuk memperbanyak bentuk
yang sama.
Rumit yang ditampilkan oleh ragam hias yang
diterapkan pada wadah, merupakan
pencapaian bentuk reringgitan seperti metatah wayang kulit (Tjidera, 2007: 78).
Bentuk yang pipih dari metatah ragam hias yang menampilkan permainan lobang
yang tembus dengan ukuran yang beraneka ragam memberikan irama bentuk dari
ragam hias yang ditatah. Sehingga memberikan bentuk estetika yang artistik. Penampilan
ragam hias secara keseluruhan wadah
akan memberikan greget yang kuat untuk menampilkan bentuk-bentuk estetika dan
dipersembahkan kepada orang yang telah meninggal (Tjidera, 2007: 78).
Teknik
metatah kulit bertujuan untuk menghasilkan nilai lebih dari komoposisi,
proporsi ruang, sehingga hasil permainan ruang dengan melobangi ragam hias
positif atau ragam hias negatif. Pada saat kena cahaya atau tembus pandang,
akan menghasilkan bayangan ragam hias yang di tatah. Hasil bayangan
ini sebagai nilai estetika dan artistik untuk mendapatkan
kesempurnaan nilai ekonomi. Untuk lebih jelasnya bentuk pola menatah kulit
positif, seperti gambar 5.67, dan bentuk pola menatah kulit negatif karya IBNP,
seperti gambar 1.68 di bawah ini.
5.4
Komodifikasi Wadah Sederhana
IBNP memberikan
model komodifikasi wadah yang
sederhana. Wadah sederhana tersebut telah mengalami proses yang
secara terus-menerus mengalami modifikasi. Hal itu disebabkan untuk mencari nilai-nilai
estetika, sehingga lakudipasaran, selain itu penanda dan petanda sebagai nilai
akhir dari wadah sederhana. Dilihat
dari nilai estetika bisa disimak beberapa nilai artistik yang ditampilkan
seperti permain warna dengan memandukan warna-warna pimer dan sekunder
dipadukan dengan warna emas sebagai aksennya, Bila diperhatikan untuk Pepalihannya, dikombinasikan dengan pepalihan kecil dan pepalihan besar untuk mendapatkan bobot dari artistik. Secara
keseluruhan wadah sederhana itu,
menampilkan penanda dan petanda untuk mendapat nilai ekonomi pada pemasarannya
dan disukai oleh konsumen. Namun tidak tutup kemungkinan wadah ini akan berubah
sesuai selara pemesannya. Untuk lebih jelasnya komodifikasi wadah sederhana karya IBNP yang
ditawarkan ke pada konsumen, seperti gambar 1.69 di bawah ini.
Bentuk wadah sederhana ini, sudah mendapat
respon yang positif dari para konsumen. Terbukti dengan banyaknya permintaan
yang menyukai bentuk wadah sederhana
yang ditawarkan, dan banyak pula yang menambahkannya dengan ragam hias lainnya
supaya lengkap. Hal ini tidak masalah yang penting mampu menyiapkan dana lebih
untuk penambahan itu, seperti yang dikatakan oleh IBNP berikut ini. Keluarga besar Mangku genah memesan wadahnya, supaya ditambah dengan karang burung garuda dan angsa. Hal ini
dengan pertimbangan bahwa: supaya lengkap saja karena yang meninggal adalah seorang
pemangku, walapun wadahnya sederhana
yang penting unsur-unsur padmasananya
ada. Adapun komodifikasi wadah
permintaan konsumen, seperti gambar 1.70 di bawah ini.
1.5 Komodifikasi Wadah Menengah
IBNP juga
menawarkan bentuk wadah yang
menengah, bentuk wadah lebih lengkap
dari bentuk wadah yang sederhana
dengan menambahkan atap di bagian atasnya. Bentuk yang rumit, komposisi, proporsi,
dan irama warna yang indah, sehingga memunculkan penanda dan petanda yang
menarik para konsumen untuk memesan bentuk wadah
yang menengah. Tidak tutup kemungkinan akan berubah sesuai dengan selera
konsumen. Adapun bentuk komodifikasi wadah
menengah karya IBNP yang ditawarkan kepada
konsumen, seperti gambar 1.71 di bawah ini.
IBNP memberikan
keleluasaan pada konsumen untuk menambahkan pepalihan
dan ragam hias sesuai dengan keinginan konsumen, dan yang terpenting mampu
membayarnya seperti: keluarga besar Made Jaya, minta ditambah dengan pepalihan bedawang dan karang boma,
dan angsa Made Jaya mengatakan bahwa keluarganya dulu adalah seorang keturunan
pande (tukang pembuat senjata), sehingga dia ingin menambahkan bedawang, boma dan angsa, karena kedudukannya lebih tinggi dari sudra (Wawancara
Jaya, 22 Juli 2010). Adapun komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah
sesuai permintan konsumen, seperti gambar
1.72 di bawah ini.
1.6 Komodifikasi Wadah Utama
Wadah utama yang diproduksi merupakan
bentuk pepalihan dan ragam hias
merupakan penyederhanaan dari bentuk bade.
Sehingga pepalihan yang tidak dipakai
disini adalah pepalihan pebentet dan pepalihan penorog. Mengapa tidak dipakai
kerena jika semua dipakai akan menjadi bade.
Dari pada repot ikuti saja bentuk pepalihan
dan ragam hias yang sesuai dengan pakem-pakem lontar yama tattwa. Sehingga
tidak adanya penyederhanaan dari bentuk pepalihan
dan ragam hias yang diproduksi, memang benar IBNP keluar dari pakem-pakem lontar yama tattwa. Untuk memberikan ruang apresiasi kepada konsumen, IBNP
menawarkan wadah utamanya dengan
bentuk pepalihan yang lengkap, dengan
atap tumpang sembilan yang biasanya
digunakan oleh keluarga raja, pengawal raja, patih, yang ada hubungannya dengan
keluarga raja. Pepalihan dan ragam
hias menyerupai meru yang atapnya
bertingkat, sebagai simbol keturunan
warna kesatria. Nilai-nilai estetika yang ditampilkan dalam wadah utama ini, seperti komposisi,
proporsi, warna, ruang, perspektif, keseimbangan bentuk pepalihan dan ragam hias sangatlah artistik dan memukau, sehingga penanda dan
petanda yang muncul penuh glamor disetiap sudut yang ditampilkan, sehingga
nilai ekonomi muncul dalam wadah
utama ini. Hal ini dilakukan oleh IBNP supaya laku dipasaran, karena nilai
jualnya sangat terjangkau dikantong konsumen. Adapun bentuk komodifikasi wadah utama karya IBNP yang ditawarkan
kepada konsumen yang menampilkan nilai-nilai estetika yang sangat tinggi
seperti gambar 1.73 di bawah ini.
Munculnya wadah yang lengkap yang digunakan oleh
keluargan Pande Dek Biot, yang penuh menampilkan nilai-nilai estetika tinggi
dan memancarkan keagungan, dikarenakan oleh keturunan yang terdahulu adalah seorang pengawal raja dan menetap di
lingkungan raja, selain itu karena permintaan dari yang meninggal sewaktu masih
hidup, sehingga menggunakan wadah ala
keluraga raja (Wawancara Biot, 23 Juli 2010). Adapun bentuk komodifikasi pepalihan dan ragam hias wadah permintaan konsumen, seperti gambar 1.74 di bawah ini.
1.7 Komodifikasi Wadah Padmasana
IBNP juga memproduksi wadah yang sama dengan bentuk bangunan padmasana. Hal ini biasanya digunakan
oleh para brahmana, pendeta dan orang-orang yang mengabdi kepada keagamaan.
Bentuk wadahnya biasanya tingginya mencapai
sembilan meter. Karena perkembangan zaman, maka bentuk bangunan wadah itu disederhanakan menjadi lebih
pendek dengan ketinggian empat meter saja. Bentuk estetika yang ditampilkan
penuh dengan berbagai macam ragam hias, yang diolah dengan menggunakan metatah
positif dan metatah negatif. Hal ini dilakukan untuk memberikan nilai artistik
yang rumit pada ragam hias. Untuk menikmati metatah kulit ini harus
diperhatikan secara keseluruhan dahulu, baru masuk kebagian bentuk dari
masing-masing ragam hias. Warna yang ditampilkan hanya dua macam saja, diantaranya
warna putih dan warna emas sebagai penanda dan petanda bahwa orang yang memakai
wadah ini adalah orang suci atau
pemangku. Walaupun demikian permainan garis, warna, tekstur, proporsi,
komposisi, keseimbangan, dan irama memberikan nilai-nilai estetika yang tinggi. Wadah ini masih tergolong yang sederhana, karena tidak memakai bedawang nala sebagai bentuk padmasana yang sempurna, namun tidak
dipungkiri hal ini akan berubah sesuai permintan konsumen. Penanda dan petanda
yang ditampilkan sebagai nilai ekonomi. Adapun bentuk komodifikasi wadah padmasana karya IBNP yang
ditawarkan kepada konsumen, seperti gambar 1.75 di bawah ini.
Bentuk pepalihan dan ragam hiasnya komplit dan mewakili derajat yang
disandang oleh seorang Ida Bagus, yang setara dengan kaum brahmana, selain itu
supaya tetap bisa melestarikan bentuk pepalihan
dan ragam hias yang terukir dengan rasa dan karya untuk persembahan, dan
mengandung nilai-milai estetika yang tinggi di bangunan padmasana, sebagai
stananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Adapun bentuk komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah yang telah dipesan oleh konsumen,
seperti gambar 1.76 di bawah ini.
1.8 Komodifikasi Pepalihan dan Ragam Hias Wadah Permintaan Konsumen
Di bawah ini
ditampilkan beberapa hasil komodifikasi bentuk pepalihan dan ragam hias wadah
karya IBNP, yang telah mengalami komodifikasi sesuai dengan
permintaan konsumen. Komodifikasi yang ditampilkan dalam
bentuk pepalihan dan ragam hias wadah,
lebih banyak nilai-nilai estetika yang ditonjolkan untuk memenuhi keinginan
konsumen. Menggunakan dan menikmati sebagai sebuah karya seni, penanda dan
petanda yang ditampilkan lebih banyak mengarah pada nilai ekonomi, yang jelas
apa yang diminta oleh konsumen hasilnya ditanggung sendiri oleh pembeli. Untuk
lebih jelasnya komodifikasi bentuk pepalihan
dan ragam hias wadah karya IBNP,
sesuai dengan permintaan konsumen seperti gambar 1.77, gambar 1.78, gambar 1.79, gambar 1.80, gambar 1,81, dan gambar 1.82 di bawah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Acwin
Dwijendra, Ngakan Ketut. 2009. Arsitektur
Bangunan Suci Hindu Di Ranah Publik. Denpasar: Bali Media Adhikarsa.
Ardana, I Gusti Putu. 1983. Penuntun ke Obyek-Obyek Purbakala, Sekitar Desa Pejeng-Bedaulu Gianyar.
Denpasar: Dinas Purbakala Bali
Bastomi, Suwaji. 1986. Seni Kriya Apresiaisi dan Perkembangan. Semarang: IKIP Semarang.
Buda, I Ketut. “Patung Lingga Yoni Gaya Sukanta Wahyu Di
Desa Banjarangkan, Klungkung, Perspektif Kajian Budaya” (Tesis). Denpasar:
UNUD.
Gelebet,
I Nyoman, dkk. 1981-1982. Arsitektur
Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Grafton, Carol Belanger. 1987. 1,001 Floral Motifs And Ornaments For Artists and Craftspeople. New
York: Dover Publications, Inc.
Marsa, I Nyoman. 2007. Seni Ukir Silakarang dan Pariwisata Budaya
Bali. Jurnal Seni Rupa dan Desain Volume 10, no 13. Halaman 1-10. Denpasar:
ISI Denpasar.
Mayun, Tjok Gde.
Dkk. 1978. “Motif
Disain Ukiran dan Peralatan di Bali”.
(Penelitian). Denpasar: Fakultas
Teknik, UNUD.
Murianto dkk. 1982. Tinjauan
Seni Rupa I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mustika, I Ketut. 2010. “Patung Kayu Inovatif Karya I
Ketut Muja Di Desa Singapadu, Gianyar, Sebuah Kajian Budaya" (Tesis).
Denpasar: UNUD.
Nala dan Wiratmadja.
1997. Murddha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.
Pastika, I Dewa Made. 1981. “Petulangan Lembu dan Singa Dalam Upacara
Ngaben Ditinjau dari Sudut Kesenirupaan Di Bali” (Skripsi).
Denpasar:
UNUD.
Pulasari, Jro Mangku.2007. Cakepan, Asata- Kosali, Uperenggenia Lan Dharmaning Bhagawan Siswa
Karma. Surabaya: Paramita.
Purnama,
Sigit. 2009. Teknik Finishing Mebel.
Semarang: Effhar.
Purwita, IB. Putu. 1997. Upacara
Ngaben. Denpasar: Upada Sastra.
Rinu, Ni Made. 1984. "Peranan Kerajinan Menatah Kulit dalam Menunjang Kepariwisataan di Bali " (skripsi). Denpasar: PSSRD UNUD.
Ruta, I Made. 2005. Implikasi Garis dalam Senirupa, Jurnal Seni
Rupa dan Desain Volume 4, no 1. Halaman 18-30. Denpasar: ISI Denpasar.
Sakri, Adjat. 1986. Wocius
Wong, Beberapa Asas Menggambar Dwimatra (Terjemahan). Bandung: ITB.
Soepratno.
2007.Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa I.
Semarang: Effhar.
Sukarya. I Wayan. 2011. “Seni Topeng Modern Karya Ida
Bagus Anom” (Tesis). Denpasar: UNUD.
Sulistyawati,
ddk 2007. Apresiasi Karya Arsitektur Ida Bagus Tugur, dari Tradisi menuju Post Modern (sebuah bunga rampai). Denpasar:
Pelawasari.
Susanto,
dkk. 1984. Pengetahuan Ornamen.
Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Sutiari dan Kanta. 1979/1980. Kertha Gosa. Denpasar:Sasana Budaya Bali.
Swastika, A.A. Ngr Oka. 2007. Profil Pembangunan Desa Angantaka. Badung: Perbekel Angantaka.
Tjidera, Gung Wayan.2007. Lukisan Wayang Bali. Denpasar: Universitas Udayana.
Wirya, I Wayan. 1994, “Bade
Padma Negara”( Skripsi). Denpasar: STSI
Denpasar.
ornamen 1
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari bangunan wadah sebelumnya yang berpatokan pada lontar yama tattwa, hasil penelitian ini lebih mengkhusus pada salah satu seniman wadah yaitu Ida Bagus Nyoman Parta dari desa Angantaka,kec Abiansemal, kab Badung. Bali. Mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi masyarakat umum khususnya masyarakat Bali.
BalasHapussuksma
BalasHapusSuksma gung aji
BalasHapusSuksma gung aji
BalasHapusLuar biasa, suksma
BalasHapus