Dominasi Ornamen Patra Punggel Pada Bangunan Wadah/Bade
(Matakuliah Ornamen Satu)
PSRD PS Kriya Produk ISI Denpasar
(Oleh: I Gusti Ngurah Agung Jaya CK.7
NIP: 196805161998021001, 122012)
PSRD PS Kriya Produk ISI Denpasar
(Oleh: I Gusti Ngurah Agung Jaya CK.7
NIP: 196805161998021001, 122012)
Abstrak
Kekuasaan sebuah teks untuk mencari tahu dan menunjukkan
asumsi yang dipegang teks tersebut. Secara lebih khusus, melakukan kekuasaan atas oposisi biner hierarki. Ia ingin menguasai titik-titik buta dari teks-teks, yaitu asumsi tak
di sadari atau tak di akui yang bekerja dalam teks. Dalam hal ini termasuk pula tempat dalam sebuah teks di mana
strategi retorikanya justru bekerja melawan logika argumentasinya sendiri, atau
dengan kata lain ketegangan antara apa yang ingin di katakan oleh sebuah teks
dengan apa yang tak bisa di katakannya.
Bentuk penyederhanaan gambar tumbuhan dengan
tidak meninggalkan sifat khusus tumbuh-tumbuhan yang di gambar. Usaha
menyederhanaan bentuk itu disebut mengubah atau menstilir jenis tumbuh-tumbuhan
yang di gubah, untuk kepentingan seni ukir, antara lain daun ganggeng, daun waru, batang tumbuh-tumbuhan yang merambat atau
menjalar, disebut "lung". Disampung itu bunga buah
juga banyak yang di gubah. Ukiran bermotif tumbuh-tumbuhan menjadi motif
pokoknya, adalah batang dan daun yang di gubah melilit atau melengkung oleh
karena itulah, maka "lung"
atau "gelung". Ini biasanya
di lengkapi dengan motif-motif tumbuhan, yang berukuran lebih kecil sebagai
isian bidang di sekitar, yang di gubah dari kuncup daun atau kuncup bunga yang
disebut "angkup".
Kadang-kadang gubahan dari sekuntum bunga yang sedang kembang disebut "ceplok". Angkup dimaksudkan juga untuk menyebut lipatan
daun atau daun yang melengkup pada yang lain.
Bentuk
dasar lingkingan tumbuhan paku, jenis flora, dengan lengkung-lengkung daun muda,
tumbuhan paku. Bagian dari ini terdisi dari susunan dari batun poh (biji mangga), potongan lingkingan tumbuhan paku, jengger
siap (Jengger ayam), ampas
nangka(Kulit nangka), kuping
guling(telinga babi), pepusuhan(tunas mudah), dan util(ekor kalajengking).
Pengulangan
dengan lengkung timbal balik, atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut atap bangunan, dapat pula dengan pola
mengambang untuk bidang-bidang lebar, bervariasi atau kombinasi dengan patra-patra yang lainnya. Ia merupakan
patra yamg paling banyak di gunakan.
Selain bentuknya yang murni sebagai patra, patra umumnya melengkapi segala bentuk kekarangan (patra dari jenis fauna), hiasan
bagian lidah naga. Patra api-apian, ekor singa dan hiasan-hiasan pelengkap.
Hiasan
di lihat dari segi etomologi, memberikan gambaran yang lengkap sangat di perlukan.
Bermacam-macam corak dan bermacam-macam teknik serta penggunaannya. Ada berupa
bentuk, jenis, bahan, dan penggunaan hiasan. Di lihat dari segi bentuk,
ternyata ada yang menggunakan bentuk dua dimensional seperti: Hiasan pada
tembok, kertas dan sebagainya. Ada pula yang menggunakan bentuk relief seperti
ukiran pada batu, kayu, dan sebagainya.
Dari
segi bahan, ternyata ada yang menggunakan kertas, kayu, batu, logam, bambo,
tanah liat, kain, dan sebagainya. Sedangkan jika di raba, di pegang ada yang
halus, kasar, dan mengerikan. Dari segi kegunaan, ada sebagai hiasan dan ada
pula sebagai barang pakai, maka
jika di rumuskan bahwa ragam hias yang
di wujudkan dalam bentuk dua di mensional dan tiga di mensional. Media yang di
pakai membentuk hiasan adalah: titik, garis, bentuk, ruang, sinar, warna,
ritme, harmoni, penonjolan dan keseimbangan.
Struktur
bangunan wadah/bade terdiri
dari: a) Bagian Kaki: palih bacem,bedawang, gunung tajak, dan gunung gelut. b) Bagian Badan: palih padma negara, sancak
gede, taman gede, dan padma sari. c) Bagian Kepala: badan dara, rongan, dan tumpang. Cara
membuat gegulak (ukuran),
ukuran, dari bahan bambo, dengan palih
wayah, capak, bacem, gunung rangin, pahe, selat, kayu pola di selingi
rang kisan sancak. Taman batur arari, palih bade terdiri dari tumpang atap
bertingkat tiga, lima, tujuh, dan Sembilan sesuai catur wangsa. Ada juga
tumpang tiga belas, lima belas, dan Sembilan belas. Semua palih muncul dari badan, tulang menghadap Bhatara nawasanga. Setiap
palih merujuk pada Sanghyang
Citragotra, Sanghyang Citraangkara, Sanghyang padda, Sanghyang Asta
Cikaragatra, Sanghyang Rasmining, dan
Sanghyang Bhawana. Mengawali dari pepalihan membakar wadah dengan gegulak
di kuburan.
Kata
Kunci:
dominasi, Patra Punggel,
Bangunan wadah/Bade
1.1 PENDAHULUAN
Pengaruh Globalisasi pada
masyarakat Bali saat ini, sudah masuk kedalam sendi-sendi kehidupan ber-agama
Hindu di Bali. sehingga para seniman di Bali mulai melirik potensi seni yang
dapat diproduksi secara masal, dan membuka banyak lapangan pekerjaan. Terbukanya lapangan pekerjaan ini, membuat seni rupa yang dulunya sebagai persembahan mulai
bergeser menjadi seni produk, yang di jual
belikan.
Piliang
dalam makalahnya berjudul " Menciptakan keunggulan lokal untuk Merebut
Peluang Global". Mengatakan, budaya-budaya lokal di dalam era globalisasi
ekonomi, informasi dan kultur dewasa ini, berada di dalam sebuah kondisi
tarik-menarik atau tegangan (tersion),
dalam kaitannya dengan berbagai tantangan dan pengaruh globalisasi. Menghadapi pada pilihan-pilihan yang di lematis,
disatu pihak globalisasi di lihat oleh budaya-budaya lokal sebagai sebuah
" peluang" bagi pengembang potensi diri dan keunggulannya di dalam
sebuah medan persaingan global yang komplek.
Globalisasi
dilihat pula sebagai sebuah "Ancaman" (Threat) terhadap eksistensi dan keberlanjutan budaya lokal itu
sendiri. Globalisasi adalah heterogenisasi, sekaligus homogenisasi. Kekuatan
Heterogensasi, budaya lokal dapat terseret mengancam keberlanjutan dan
eksistensinya dan kehilangan identitasnya (Piliang, 2005:1). Peluang dalam globalisasi adalah banyaknya para perajin memproduksi bangunan
suci (Pelinggih), dengan teknik
cetak, sehingga mampu memproduksi
pelinggih secara besar-besaran.
Produk pelinggih ini dapat kita amati disepanjang jalan antara desa
Lukluk dan Desa Kapal dan disepanjang Jalan Ida
Bagus Mantra. Bebagai
model pelingih di tawarkan, berjejer menghiasi kanan dan kiri
jalan. Pelinggih ini menampilkan
berbagai motif rupa, dilihat dari bahan, ada yang menggunakan norma aturan asta kosali bahan yang sudah ditetapkan dalam
penggunaan bahan bangunan suci.
Menurut
Buku Indik Ngawangun Merajan mengatakan seperti dibawah ini.
…"Ngewangun bebaturan malakar paras (Batu padas), citak (Tanah
liat yang dibakar sampai berwarna merah) lan batu sane medaging rongan ( batu apung. Genah ring Kiwa (kanan)"…,(Anom,2002,hal
8).
Ada yang dibuat
dari berupa hasil cetakan beton, ada pula yang menggunakan berbagai material
batu, seperti batu apung, batu berwarna, batu lahar dingin. Melihat
hal ini dalam menggunakan bahan baku pelinggih
mengalami pergeseran secara berlahan-lahan. Menurut Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali
Mengatakan Bahwa: Lelengisan, merupakan
bentuk hiasan tanpa ukiran, keindahan dari bentuk-bentuk hiasan dengan
permainan variasi timbul tenggelamnya bidang-bidang hiasan dan penonjolan
bagian-bagian tertentu. Bentuk-bentuk
hiasan lelengisan umumnya di satukan dengan hiasan pepalihan (Gelebet,
1981/1982: 337).
Melihat
perkembangan yang makin pesat muncul bentuk bangunan suci seperti
tidak menampilkan ornamen Bali, secara keseluruhan, tapi menampilkan bungkus luar
dari bentuk ornamen, disebut juga bentuk lelengisan
atau bentuk global dari ornamen Dari kalangan
interior disebut minimalis. Melihat hal tersebut diatas bahwa, sudah ada
pergeseran yang sangat besar dalam pembuatan bangunan suci, baik dilihat dari
segi bahan, bentuk, dan kepraktisan dalam pemasangan atau mendirikan bangunan
suci. Melihat
fenomena ini, dalam era globalisasi menjadi ancaman, terhadap perkembangan
ornamen Bali yaitu Patra punggel.
Ornamen
patra Punggel yang biasanya menghiasi
bangunan suci (Pelinggih ),
sedikit demi sedikit di kurangi dalam menghias pelinggih. Ini terdapat pada cetak pelinggih beton cetak
dengan menggunakan bias melile, batu lahar dingin dan sebagainya, menampilkan lelengisan,
sama sekali tidak menonjolkan ornamen.
Fenomena
ini membuat beberapa kalangan seniman
dan budayaan sangat takut, kehilangan seni ornamen Bali yang terdapat pada
bangunan suci di Bali. Di
tengah-tengah adanya kekawatiran akan memudarnya kesenian yang bersifat
tradisional, muncullah gerakan yang berusaha untuk membangkitkan kembali, agar
kesenian tradisional dapat dijadikan landasan, untuk menangkal budaya luar
yaitu Pesta Kesenian Bali (Yoety,1987:29).
Dalam perjalannya
pemerintah propinsi Bali sudah berusaha menampilkan karya-karya seminan yang
dipajang pada setiap Pesta Kesenian Bali. Di sisi lain banyak seniman yang
tidak mendapat tempat dalam ajang bergengsi tersebut. Karya seniman ukir masih
sedikit mendapat tempat dan masih bersifat kelompok yang mewakili seniman ukir.
Motif ornamen yang menonjol adalah patra punggel. Patra punggel merupakan
warisan budaya, yang secara turun temurun diwarisankan oleh ahli waris generasi
muda yang berminat menekuni seni ukir motif patra
punggel Bali.
Secara garis besar motif dalam seni ukir mencakup tiga hal
yaitu: a) Motif dalam ragam yaitu ragam utuh hiasan (ragam hias), yaitu motif tmbuh-tumbuhan,motif binatang, dan motif
geometris. b) Motif adalah mempunyai
ciri khusus atau gaya suatu hasil seni, yaitu: seni ukir motif pejajaran, motif
jepara, motif bali, dan lain sebagainya. c) motif adalah menunjukkan jaman atau
masa, di buatnya seni kerajian itu, yaitu seni ukir jaman Hindu, seni ukir
jaman Islam dan sebagainya (Soepratno. 2007: 9-10)
Menurut
pengetian tersebut di atas pada dasarnya motif mengandung kekhususan. Ciri
khusus atau karakteristik terutama sekali motif dalam dua pengertian. Lahirnya
motif atau gaya itu, karena dasar kekhususanya. Bahkan sifat lebih kuat lagi,
jika dikatakan karena adanya penampilan pribadi pada hasil karya ukir itu, maka
dari itu, jika di katakan seni ukir motif Bali. Seni ukir itu menunjuk pribadi
orang daerah Bali.
Motif
tumbuhan yaitu: penyederhanaan gambar tumbuhan dengan tidak meninggalkan sifat
khusus tumbuh-tumbuhan yang di gambar. Usaha menyederhanaan bentuk itu disebut
mengubah atau menstilir jenis tumbuh-tumbuhan yang di gubah, untuk kepentingan
seni ukir, antara lain daun genggong,
daun waru, batang tumbuh-tumbuhan yang merambat atau
menjalar, disebut "lung". Disampung itu bunga buah
juga banyak yang di gubah. Ukiran bermotif tumbuh-tumbuhan menjadi motif
pokoknya, adalah batang dan daun yang di gubah melilit atau melengkung oleh
karena itulah, maka motif pokok itu disebut "lung" atau "gelung". Motif pokok ini biasanya
di lengkapi dengan motif-motif tumbuhan, yang berukuran lebih kecil sebagai
isian bidang di sekitar motif pokok, yang di gubah dari kuncup daun atau kuncup
bunga yang disebut "angkup".
Kadang-kadang gubahan dari sekuntum bunga yang sedang kembang disebut
"ceplok". Angkup dimaksudkan
juga untuk menyebut lipatan daun atau daun yang melengkup pada yang lain.
Seni
ukir motif tumbuh-tumbuhan, memberikan kesan geometri (luwes), karena sifat tumbuhan yang melilit, melengkung dan
melingkar-lingkar, motif tumbuhan dapat di gubah dengan banyak variasi dan
cukup banyak pula aneka tumbuhan yang sifatnya luwes dan indah (Bastomi, 1986:
6-7).
Dominasi ornamen patra punggel sangat kental lebih menonjol dari ornamen yang lainnya.
Untuk memahami ornamen patra punggel
dari segi kata mengatakan dalam kamus umum Indonesia, menyatakan bahwa patera: stiliran dari daun (1976: 717).
Punggel adalah punggal yang terpotong atau patah ujungnya (pucuknnya) menunggal: memotong atau mematahkan (ujung, pucuk dan sebagainya) (1976:
777). Jadi Patra punggel adalah stiliran dari daun atau tumbuh-tumbuhan yang
mempunyai daun, pucuk-pucuk di ambil dan di rangkai menjadi sebuah motif patra punggel.
Pepatran
dalam buku Arsitektur Tradisional Bali, menyatakan bahwa mewujudkan
gubahan-gubahan keindahan di hiasan dalam patra-patra
yang disebut patra atau pepatran. Pepatran yang juga banyak di dasarkan pada bentuk-bentuk keindahan
flora, disebut pepatran dengan jenis
flora yang di wujudkan. Ragam hias yang tergolong pepatran merupakan pola yang
berulang-ulang, dapat pula di wujudkan
dalam pola kembang. Masing-masing patra memilki
identitas yang kuat untuk menampilkan, merancang, tanpa meninggalkan
pakem-pekem identitasnya.
Patra punggel, mengambil bentuk dasar
lingkingan tumbuhan paku, jenis flora, dengan lengkung-lengkung daun muda tumbuhan
paku. Bagian dari patra punggel adalah terdisi dari susunan dari batun poh (biji Mangga), potongan
lingkingan tumbuhan paku, jengger siap (mahkota
ayam jantan), ampas namgka ( kulit
pembungkus dari buah nangka yang ada didalam buah nangka), kuping guling ( telinga babi yang di bakar diatas bara api), pepusuhan (bakal jadi pucuk baru), dan util ( stiliran diambil dari ekor kala jengking) (1981/1982: 331).
Patra punggel merupakan pengulangan dengan
lengkung timbal balik, atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut atap
bangunan, dapat pula dengan pola mengambang untuk bidang-bidang lebar,
bervariasi atau kombinasi dengan patra-patra yang lainnya. Patra punggel
merupakan patra yamg paling banyak di gunakan. Selain bentuknya yang murni
sebagai patra punggel utuh, patra punggel umumnya melengkapi segala bentuk
kekarangan (patra dari jenis fauna),hiasan bagian lidah naga. Patra punggel api-apian, ekor singa dan
hiasan-hiasan pelengkap (1981/1982: 333).
Masing-masing bagian patra punggel yang dijelaskan diatas, merupakan
simbol-simbol yang mewakili isi dunia baik yang berada pada buana alit maupun
buana agung. Semuanya bersinergi membentuk satu kekuatan yang melahirkan
nilai-nilai sakral sebagai warisan budaya yang dipercaya memberikan kebahagian
dan kedamaian lahir bathin. Hal ini terpancar pada ornamen patra punggel Bali.
Patra punggel merupakan
bagian dari ornamen Bali yang menghiasi bangunan rumah, bangunan tempat suci,
dan berbagai perabotan alat upacara dan rumah tangga, yang dipergunakan oleh
masyarakat Bali sehari-harinya. Kata ornamen
patra punggel dilihat
dari segi etomologi, memberikan gambaran yang bersifat menghias.
Bermacam-macam corak dan bermacam-macam teknik serta penggunaannya ditampilkan dalam penerapan ornamen patra punggel. Ornamen patra punggel ada berupa
bentuk, jenis, bahan, dan penggunaan ornamen patra
punggel.
Dilihat dari segi bentuk, ternyata ada yang menggunakan bentuk dua dimensional
seperti: ornamen pada tembok, kertas dan sebagainya. Ada pula yang menggunakan
bentuk relief seperti ukiran pada batu, kayu, dan sebagainya.
Dari
segi bahan, ternyata ada yang menggunakan kertas, kayu, batu, logam, bambo,
tanah liat, kain, dan sebagainya. Sedangkan jika di raba, di pegang ada yang
halus, kasar, dan mengerikan. Dari segi kegunaan ornamen, ada sebagai hiasan
dan ada pula sebagai barang pakai, maka jika di rumuskan bahwa ornamen adalah
ragam hias yang di wujudkan dalam bentuk dua dimensional dan tiga dimensional.
Media yang di pakai membentuk ornamen patra
punggel adalah: titik, garis, bentuk, ruang, sinar,
warna, ritme, harmoni, penonjolan dan keseimbangan (Susanto,
1984: 1).
Ornamen patra punggel memiliki sifat menghias. Ornamen lebih cendrung
kepada sifat hiasanya, sedangkan decorate patra punggel cendrung kepada
tata ruang, baik ruang dalam (interior)
maupun Ruang luar (exsterior).
Ornamen patra punggel adalah hiasan yang bergaya geometris. Pendapat
lain menyatakan ornamen patra punggel adalah suatu
hiasan pada suatu bentuk datar dari hasil kerajinan tangan (perabutan, pakaian,
arsitektur dan sebaginya). Ornamen patra punggel adalah bagian
dari pada seni rupa, maka lasim disebut seni hias atau ragam hias. Ornamen patra punggel lebih menonjolkan kerumitan dan kesan raba yang
dominan berlubang untuk menampilkan karakteristik karya yang dinamis dan
harmonis, dimana ornamen patra punggel
tersebut diterapkan untuk menambah
keindahan(1984: 13)
Ornamen
patra punggel yang berkembang di Indonesia lahir sejak jaman mesolitikum
sampai sekarang di jaman globalisasi ini. Ornamen tersebut mempunyai makna atau
lambang tertentu.
Ini di sebabkan oleh bermacam-macam kepercayaan yang dianut di Indonesia. Walaupun
tidak mengandung arti magis di dalam masyarakat yang
postmodern, makna lambang masih bertahan. Perwujudan
lambang hampir semuanya di ambil dari alam ciptakan Tuhan antara lain:
tumbuhan-tumbuhan, binatang, manusia, matahari, bulan dan lainnya. Bahkan
berhasil menciptakan mahluk khayal sebagai mahluk khayal sebagai mahluk
kayangan. Dari sekian banyak macam tumbuh-tumbuhan yang lazim di wujudkan
ialah: teratai, kalpataru, hayat, padi, dan kapas sebagai lambang kehidupan dan
kesuburan. Macam-macam binatang yang
lazim di wujudkan ialah: a) banteng, sebagai lambang kekuatan, keberanian dan
kerakyatan. b) kerbau, ular atau naga,
gajah, lambang dunia bawah dan lambang
kesuburan, kendaraan akhirat, dan
penolak kejahatan. c) kadal dan biawak, sebagai penjelmaan dewa. d) kerang,
lambang dewa wisnu. e) merak, sebagai lambang kendaraan dan keindahan. f) nuri,
lambang dewa asmara. g) garuda, lambang kendaraan winu, kekuatan,
kemegahan,kebenaran. h) ayam jantan sebagai lambang matahari, kekuatan,
keberanian, kesuburan. Manusia di lambangkan
sebagai penangkis kejahan, penangkis bahaya, dan sebagai gambaran nenek moyang.
Ornamen di artikan candra sengkala yaitu untuk memperingati agar tidak lupa, di
artikan dan falsafah sesuai dengan situasi dan kondisi waktu itu (1984: 14).
Di Bali ornamen patra punggel berkembang sangat pesat,
baik yang diterapkan pada bangunan rumah, tempat suci dan alat rumah tangga.
Tapi dari semua itu patra punggel
lebih ditonjolkan pada sarana upacara pitra
yadnya yaitu upacara ngaben disebut bangunan wadah/bade. Sarana ini dipergunakan untuk mengusung jenazah untuk di bawa
kekuburan dan dibakar, sebagai wujud bakti kepada leluhur dan mempercepat
pengembalian unsur-unsur panca mahabhuta
( tanah, air, api, angin dan angkasa).
Dalam buku lintas asta
kosali,
mengatakan bahwa Asta Kosala adalah
nama lontar yang memuat tentang berbagai tata cara untuk membuat menara atau
bangunan tinggi, wadah, bade( tempat untuk mengusung mayat), dalam
upacara ngaben (Tonjaya,1982: 1).
Wirya dalam
skripsinya yang berjudul bade padma negara, mengatakan isi
lontar asta kosala, sebagai berikut dibawah ini.
"... Nyan kawaruhakna pretekaning wong
pejah, nga: salwiring wewangun, ndi ta lwirnya, wong ngaran wadah... Tumpang Negara meru, gunung maliawan ika ngidep
dening undagi angawe wewangunaning wong pejah. Anonim, 1a-1b (Wirya,1994:35).
Artinya adalah
ada seorang yang meninggal, di harapkan membuat bangunan wadah/bade, bentuk bangunannya berupa bade tumpang meru, bade gunung
maliawan, di buat dan di kerjakan oleh seorang tukang bade, ahli dalam membuat wadah bagi orang yang meninggal.
Dalam lontar itu
di sebutkan, "... uttama
ning taman sari, madhyaning taman agung
padma Negara araning bade, helingkna palihnya Negara padma Negara... Pelok limene ngara padma Negara munggah adegan
mecanggah wang, yan noro mendegan mecanggah wang, yang metumpang solas, padma
sari haraning bade ika, wenang menaga banda, nista ni padma sari. …Yadin padma Negara noro menaga banda wenang…”
Anonim, 15b-16b-17a (Wirya, 1994:36).
Artinya: utama taman sari dan madia
taman agung disebut bade padma negara, perlu di ingat
tentang ciri khas padma negara, yaitu pelok atau upecira lima
buah, berisi tiang dan penyanggah memakai tumpang
sebelas disebut bade padma sari. Kesatria utama
boleh menggunakan dan bisa memakai naga
banda. Begitu juga bisa bade padma negara merupakan susunan dari beberapa pepalihan yang di hiasi
dengan berbagai jenis ornamen yang akhirnya menambah keindahan bangunan wadah/Bade.
Struktur
bangunan bade terdiri dari: a) Bagian
Kaki: pepalihan bacem,bedawang, gunung tajak, dan gunung gelut. b) Bagian Badan: pepalihan padma negara, sancak gede, taman gede, dan padma sari. c) Bagian Kepala: badan dara, rongan, dan tumpang
(1994: 37).
Pepalihan bedawang merupakan
bentuk dari kura-kura raksasa dan dua buah naga. Pepalihan gunung gelut
adalah satu pepalihan wayah dan satu pepalihan pelok. Pepalihan padma negara adalah gabungan
dari pepalihan wayah penyarong, padma, peneteh, padma bebatet, gulesebungkul, bebentet, padma, peneteh,
padma, pengarang, pepalihan wayah dan saka
mecanggahwang. Ini di susun dari bawah keatas dan beradu di tengah-tengah (1994:38).
Pepalihan wayah adalah
penggabungan dari bentuk waton paid dan
ganggong sebagai garis batas pepalihan satu dengan pepalihan berikutnya
(1994:39).
Pepalihan merupakan tempat untuk menaruh ornamen yang digunakan
untuk menghias wadah/bade, sehingga
menampilkan bentuk dekorasi yang indah, sebagai saran persembahan kepada
leluhur supaya kita yang masih hidup diberikan kemakmuran untuk melanjutkan hak
dan kewajiban sebagai manusia yang hidup didunia ini.
1.2.
Ideologi
Patra punggel sebagai Kekuasaan pada Ornamen Bali
Ideologi
patra punggel merupakan pola pengulangan
dengan lengkung timbal balik, dan dapat pula di kembangkan, memgambil bentuk
dasar lingkingan paku, sejenis flora. Lengkungan-lengkungan daun muda tanaman
paku. Patra punggel di dalamnya
terdiri dari makna simbol isi alam, seperti: jengger siap (hiasan mahkota ayam jantan), batun poh (biji mangga), kuping guling (telinga babi yang di
guling), ampas nangka (selaput dalam pembungkus daging nangka), pepusuhan
(tunas muda tanaman paku), dan ikut
celedu (ekor dari kalajengking) (Gelebet, DKK,1981/1982:334).
Kekuasaan
Patra Punggel pada Ornamen Bali
seperti: Keketusan adalah pola dari hasil potongan berbagai macam
Flora dan fauna dalam bentuk geometris, yaitu: kakul-kakulan, pae,
genggong, batun timun, sulur,
mas-masan, tali ilut, tali ulat, paku pipit, patra mesir (huruf T, S , dan Suwastika), bun-bunan, mote-motean, api-apaian, bias membah, dan gigi barong. Kekarangan
adalah pola berupa muka topeng atau wajah dari Binatang dan manusia, yang sudah
di setilir, seperti: karang asti (gajah),
karang Boma (simbol alam), karang sae (kepala kelelawar), karang goak (
kepala burung), karang tapel, karang bentulu (topeng mata satu). Patra adalah pola pengulangan dengan
lengkung timbal balik, dan dapat pula di kembangkan, seperti: Patra sari, patra punggel, patra
bun-bunan, patra cina, patra olanda, patra samblung, patra
banci, dan patra prancis (Gelebet,dkk,1981/1982:331-354).
Jadi
Ideologi patra punggel Hubungan
kekuasaan atas ornamen Bali lainnya, di lihat di lapangan membuktikan bahwa patra punggel menguasai dan melegitimasi
kekuasaan atas ornamen Bali yang lainnya. Sehingga dominasi patra punggel lebih kelihat dan
memapankan patra punggel sebagai
salah satu ornamen yang harus ada setiap penerapan pada bangunan rumah atau pelinggih yang bercirikan style Bali.
Menurut Seniman wadah Ida Bagus Nyoman Parta, di
bawah ini.
“... mengatakan bahwa ornamen patra
punggel merupakan warisan dari luluhur terdahulu, kita pewaris mengikuti aja. Patra punggel dilihat dari bentuknya
mengandung nilai-nilai relegius. Dimana disetiap bagian patra punggel mewakili apa yang ada di alam. Selain itu bila di
pisah-pisah dan diulang-ulang bentuknya
bisa menjadi motif ornamen yang lain. Makanya patra punggel diibaratkan bagian inti dari semua ornamen yang lainnya
yang berkembang di Bali, bahkan bisa melahirkan ornamen-ornamen baru yang masih
eksis di jaman serba global sekarang ini...”(Wawancara Parta,23 Juli 2011).
Ida Bagus Putu Suryawan,
berkomentar bahwa di bawah ini.
“...Patra punggel secara fungsi
dan makna yang terkandung di dalamnya, sangat bernilai tinggi. Hal ini saya
rasakan dalam setiap pembuatan ornamen patra
punggel terasa seperti ada getaran yang menuntun dalam menyelesaikan
ornamen patra punggel. Apa lagi
digunakan pada bangunan wadah/bade terasa mengandung nilai magis,
sehingga bangunan wadah/bade terasa
angker. Hal ini yang menyebabkan patra punggel
lebih banyak digunakan untuk menghias bangunan wadah/bade...”(Wawancara
Suryawan, 27 Juli 2011).
Hal ini juga diungkapkan
oleh Soepratno dalam bukunya ornamen I mengatakan bahwa ornamen patra punggel merupakan warisaan yang
harus tetap dipertahankan dan diwariskan kepada generasi muda. Seorang yang
ingin belajar ornamen, dasar yang harus dipelajarai adalah ornamen patra
punggel, karena semua proses membuat ornamen ada pada patra punggel, baik dari
segi bentuk, karakter, tekstur, finishing, dan sebagainya. Hal ini yang selalu
diterapkan pada setiap anak didik yang ingin belajar ornamen Nusantara
khususnya ornamen Bali (Soepratno.2007: 12).
I Nyoman Letra mengatakan bahwa dibawah ini.
“... ornamen patra punggel Bali
yang diterapkan pada bangunan wadah/bade
mendekati tatah kulit yang mana lebih banyak menampilkan ruang-ruang yang
nantinya dilubangi untuk menambah nilai kerumitan dan karakteristik yang dipancarkan
oleh ornamen patra punggel. Pinggiran
ornamen patra punggel dibuat dengan
lekukan-lekukan yang mana mampu menampilkan keindahan yang tidak dipunyai oleh
ornamen lainnya. Hal ini yang menyebabkan ornamen patra punggel lebih banyak diterapkan pada bangunan wadah/bade...”(Wawancara Letra, 30 Juli 2010).
I Wayan Wirya
menegaskan bahwa dibawah ini.
“...ornamen patra punggel
merupakan patra yang tidak bisa dilepaskan dari bangunan wadah/bade. Karena
ornamen patra punggel mengandung
nilai relegius yang dan nilai-nilai sosial budaya yang menjadi ciri khas dari
orang Bali. Walaupun ornamen patra punggel
juga ada diberbagai daerah di Indonesia bahkan dunia. Tapi ornamen patra punggel mempunyai nilai-nilai
lebih seperti bentuk ornamen Bali banyak menampilkan bentuk yang
belingkar-lingkar baik kekanan, kekiri, keatas dan kebawah. Sehingga dinamis
dan luwes. Jika diperhatikan ornamen patra
punggel selain Bali, akan kelihatan sekali perbedaannya. Hal ini yang
membedakan ornamen patra punggel
disetiap daerah berbeda-beda. Di Bali ornamen patra punggel disetiap daerah berbeda-beda, dengan terjadinya
urbanisasi ornamen patra punggel mengalami ketersinggungan sehinga
masing-masing ornamen patra punggel
yang dibawa oleh seniman-seniman, saling mempengaruhi sehingga ciri khasnya
menjadi gaya Bali seperti sekarang ini...”(Wirya, 20 Agustus 2010).
Hal ini telah
menjadi mendarah daging bagi para perajin dan sangging dalam penerapan ornamen
pada bangunan rumah dan pelinggih di Bali, secara turun temurun. Berawal
dari permintaan, pesanan dari luar Bali. Berupa Bangunan pelinggih Bali. Para
perajin di Desa kapal mencari sosulusi untuk membuat cetakan pelinggih benton,
untuk memenuhi pasaran. Di sinilah awal dari memudarnya dominasi kekuasaan patra punggel. Dari keseluruhan bangunan
pelinggih, tidak semua di dominasi
oleh patra punggel. Mengapa ini di
lakukan?, karena menghindari dari kerumitan dan retak atau pecah dari ornamen
yang di terapkan. Hak ini mendapat respon dari para komsumen dan menerimanya,
tidak ada komplin, hal terpenting patra
punggel tetap ada walaupun tidak menodominasi. Hal ini juga mendapat kritikan dari
kalangan budayawan, akan hilangnya ciri ornamen Bali, yang telah di wariskan secara turun-merun
dari leluhur orang Bali. Seiring berjalanmnya waktu hal ini terus berlanjut dan
tetap diminati oleh konsumen, dengan model cetakan pelinggih benton.
Di tahun
1990-an, muncul ideologi patra
prancis yang ingin menumbangkan patra punggel.
Ia berusaha mengganti patra punggel,
dengan model patra prancis. Kekuasaan patra
prancis tidak berlangsung lama. Munculnya ideologi ajag Bali, yang di dengung-dengungkan,
secara berlahan-lahan namun pasti patra
punggel mulai mengeliat, berkuasa kembali. Hal ini di dukung dengan kesadaran
orang Bali akan warisan budaya yang Adi Hulung itu. Dinas pendidikan propinsi
Bali menetapkan ornamen Bali harus di
pelajari sebagai muatan lokal, di berikan dari sekolah tingkat SD, SMP, dan
SMA. Bertujuan untuk melestarikan budaya Bali, khususnya patra punggel, sebagaian besar menguasai ornamen yang di terapkan
pada bangunan rumah dan bangunan pelinggih,
yang ada di Bali. Munculnya Pengakuan atas salah satu bentuk ornamen Bali,
sebagai ornamen milik bangsa lain, membuat orang Bali Geram dan sadar bahwa seni
budaya yang adi hulung, diwariskan oleh nenek moyang orang bali harus tetap di
pertahankan, dan di lestarikan dan di praktekkan untuk keajegan bali.
Dengan pengaruh budaya global muncul ide-ide minimalis
yang ingin menumbangkan
kekuasaan patra punggel adalah bentuk
lelengisan. Lelengisan merupakan bentuk hiasan tanpa ukiran, keindahan dari
bentuk-bentuk hiasan dengan permainan variasi timbul tenggelamnya bidang-bidang
hiasan dan penonjolan bagian-bagian tertentu, disatukan dengan hiasan pepalihan. Ideologi ini merupakan
penampilan kulit luar pola dasar dari keselurahan motif ornamen. Hal ini pula
mendapat respon dari konsumen dan menyukai bentuk minimalis ini, apa lagi
menggunakan bahan dari batu putih, batu lahar dingin, karena mempunyai warna
yang artistik dan alami.
Bentuk minimalis menjadi gaya hidup orang masa kini diera
globalisasi. Semua ingin dirubah, bahkan sampai bangunan pura yang yang penuh
dengan ornamen yang didominasi oleh ornamen patra
punggel di rubah diganti dengan bentuk minimalis, tanpa balutan ornamen.
Diseluruh Bali perubahan ini berlanjut, bahkan dengan tawaran bahan bias
melile, batu gunung agung, batu padas abu-abu dan putih, ditawarkan dipinggir
jalan protokol. Sehingga masyarakat banyak pilihan untuk mendirikan sebuah
bangunan pura. Tapi dengan karakter ornamen patra
punggel dan nilai-nilai relegius dominasi ornamen patra punggel masih tetap
dipertahankan, yang diterapkan pada bangunan wadah/bade.
Bangunan
bade disebut juga wadah, di gunakan
untuk membawa sawo (mayat), dan di
arak menuju setra (kuburan), untuk di
bakar. Ini bertujuan adalah mempercepat pengembaliaan panca mahabhuta (unsur air, angin, tanah, udara, dan api yang ada
pada tubuh manusia) (Anom,2002:1).
Bentuk bangunan wadah/bade ini di hiasi
oleh beragam ornamen Bali. Ornamen yang paling mendominasi ornamen yang lain
adalah patra punggel. Bagian kepala,
badan, dan kaki dari bangunan bade, di kuasai dan menjadi lebih menonjol hiasan
patra punggel. Mengapa demikian?, menurut saging Wirya dalam skripsinya, bahwa
kekuasaan patra punggel memberikan
nilai artistik dari segi reringgitan dan kerumitan. Patra punggel memberikan kesan angker dan magis, sehingga
memberikan kita kesan bahwa kematian adalah jalan yang tidak bisa kita hindari
(Wirya,1994:30). Kita sebagai manusia
hanya bisa menjalankan hidup tanpa kita ketahui kapan kita akan mendapat
giliran di jemput untuk menghadap Yang Tunggal. Patra Punggel secara keseluruhan bangunan wadah/bade memberikan
kesan keagungan dan kekuasaan, bagi orang yang menggunakan, sesuai dengan kasta, kedudukan di lingkungan
masyarakat di daerah Bali. Pasang surut gelombang menggoyang kekuasaan ideologi
patra punggel sebagai salah satu patra yang menguasai ornamen Bali
lainnya, tetap bertahan melanggengkan kekuasaannya.
Dari Hasil wawancara
dan pengamatan dilapangan dan kajian buku, mengatakan bahwa Patra punggel mendominasi/menghegemoni
terhadap keketusan, patra, dan kekarangan, yang menjadi kesempurnaan
ornamen Di Bali. Patra punggel harus
selalu ada dalam menghias berbagai bangunan Rumah, bangunan Pelinggih dan bangunan wadah/bade. Ini merupakan
suatu keharusan dan mengandung makna
yang dalam dan mengandung simbol-simbol. Makna itu adalah patra punggel merupakan simbol filosofis dari isi alam, seperti
Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Secara narasi besar yang mewakili
narasi-narasi kecil dari mahluk hidup di dunia ini. Setiap ornamen dari sebuah
bangunan baik dari kaki, badan, dan kepala harus memasukan patra punggel. Tanpaknya ornamen patra punggel yang penuh reringgitan/greget, dan falsafah untuk
direnungkan dan dipahami, untuk kelanggengan ornamen patra punggel sebagai warisan seni budaya yang
adi hulung yang harus dilestarikan.
1.3 Kesimpulan
Ornamen patra punggel merupakan narasi
besar yang ada pada bangunan wadah/bade.
Dimana ornamen patra punggel mampu
memberikan kontribusi bagi ornamen-ornamen kecil yang ikut menghias bangunan
wadah/bade. Ornamen kecil diberikan
tempat yang sesuai dengan kebutuhan. Ornamen patra punggel pada bangunan wadah/bade selalu mengambil bidang yang tidak mampu diisi oleh ornamen
lain, seperti bagian-bagian pojok, bidang-bidang kecil dan besar dan bagian
atas sebagai puncak keagungan yang tetap didominasi oleh ornamen patra punggel.Ornamen patra punggel
selalu dibuat bentuknya menarik, dengan berbagai gaya dan karakter sehingga
ornamen patra punggel tetap sebagai
pusat sentral dari ornamen Bali.
Setiap bangunan
rumah, bangunan pelinggih, dan
Bangunan wadah/bade, harus
memasukkan ornamen patra punggel di
setiap bangunan dari bagian kaki, badan, dan kepala. Ini sesuai dengan buku
maupun lontar, dan pengamatan di lapangan sebagai simbol makna dari isi alam
semesta. Isi alam
merupakan simbol dari narasi besar, sebagai wakil dari narasi-narasi kecil,
yang begitu banyak di alam semesta ini. Hal ini dilakukan sebagai simbol,
makna, dan filososfi untuk selalu menjaga alam, dan melanggengkan semua
kehidupan di dunia ini, demi anak cucu kita.
Daftar Informan
1. Nama : Ida Bagus Nyoman
Parta
Umur : 63 Tahun
Pendidikan : SR (Sekolah Rakyat)
Pekerjaan : Seniman/Undagi
Alamat : Banjar Desa, Desa
Angantaka
2. Nama : I Wayan Wirya
Umur : 45
Tahun
Pendidikan : SI
STSI Denpasar
Pekerjaan : Seniman
Alamat : Br Jelekungkang,Taman Bali, Kabupaten
Bangli
3. Nama : Ida Bagus Putu
Suryawan
Umur : 28 Tahun
Pendidikan : SMK I Denpasar
Pekerjaan : Seniman
Alamat : Banjar Desa, Desa
Angantaka
4. Nama : I Nyoman Letra
Umur : 50 Tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Tukang bangunan
Alamat : Banjar Desa, Desa
Angantaka
Daftar
Pustaka
Anom, Ida
Bagus.
2002. Indik Ngawangun Merajan.
Tabanan:Yayasan Dharmapadesa.
Anom, Ida
Bagus.
2002. Indik Ngawangun Karang Paumahan
Tabanan:Yayasan Dharmapadesa
Anom, Ida
Bagus. 2002.
Indik Taru Wangsa Lan Wigunan Ipun.
Tabanan:Yayasan
Dharmapadesa
Bastomi, Drs Suwaji. 1986, Seni Ukir. Semarang: IKIP Semarang.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teiri dan Praktek.
Peterjemah Tim kunci Cultural studies Center,
Yogyakarta: bentang pustaka.
Dokomentasi. 1993. Katalogus Lontar, terjemahan
Asta Kosala. Denpasar: Dokumentasai Budaya
Bali, Propensi Daerah Tingkat I Bali.
Gelebet,
I Nyoman dkk, 1981/1982, Arsitektur
Tradisioanal Daerah Bali. Denpasar:Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Bali.
Kadir M.A, Abdul, Drs Gustami SP. 1994, Nukilan Seni Ornamen Indonesia. Yogyakarta:ATSRI,ASRI Yogyakarta.
K. Tonjaya, I Gd Bande. 1982. Lintas Asta Kosali. Denpasar:Toko Buku
Ria
Soepratno.
2007.Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa I.
Semarang: Effhar.
________. 2007.Ornamen
Ukir Kayu Tradisional Jawa II. Semarang: Effhar.
Susanto, Damid. Suraya, S Hadi
Sudarmono, 1984, Pengetahuan Ornamen.
Jakarta:Departemen pendidikan dan
Kebudayaan.
Tonjaya, I Ny. Gd. Bandesa. K. 1982. Lintas Asta Kosali. Denpasar: Toko buku
Ria.
Piliang, Amir Yasraf. 2005, makalah seminar Menciptakan Keunggulan Lokal
Untuk Merebut Peluang Global,
Denpasar,ISI Denpasar.
Purwita, Drs I B. Putu. 1997. Upacara Ngaben. Denpasaar:Upada Sastra
Wirya, I Wayan. 1994, Sekripsi berjudul: Bade Padma Negara.
Denpasar: STSI Denpasar.
DAFTAR FOTO
Dominasi patra punggel pada bangunan wadah/bade
1. Dominasi patra punggel pada karang goak,
foto tahun 2011. Gungjayack.
2. Dominasi patra punggel pada parba,
foto tahun 2011, gungjayack
3. Dominasi patra punggel pada karang goak,
foto tahun 2001, gungjayack.
5. Dominasi patra punggel pada bagian kepala bangunan wadah,
foto tahun 2011, Gungjayack.
6. Dominasi patra punggel pada karang goak,
tahun 2011, Gungjayack.
7. Bentuk patra punggel pada bagian atas bangunan wadah,
foto tahun 2011, Gungjayack.
8. Bentuk patra punggel bagian samping bangunan wadah,
foto tahun 2011, Gungjayack
9. Bentuk keseluruhan bangunan wadah
yang didominasi patra punggel,
foto tahun2011, Gungjayack
foto tahun 2011. Gungjayack.
2. Dominasi patra punggel pada parba,
foto tahun 2011, gungjayack
3. Dominasi patra punggel pada karang goak,
foto tahun 2001, gungjayack.
5. Dominasi patra punggel pada bagian kepala bangunan wadah,
foto tahun 2011, Gungjayack.
6. Dominasi patra punggel pada karang goak,
tahun 2011, Gungjayack.
7. Bentuk patra punggel pada bagian atas bangunan wadah,
foto tahun 2011, Gungjayack.
8. Bentuk patra punggel bagian samping bangunan wadah,
foto tahun 2011, Gungjayack
9. Bentuk keseluruhan bangunan wadah
yang didominasi patra punggel,
foto tahun2011, Gungjayack
Salam hormat, Pak Agung.
BalasHapusSaya Nurul, mahasiswi Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya sedang melakukan penelitian tentang ornamen Bali. Ingin bertanya tentang ornamen yang ada di uang lima puluh ribu rupiah. Jika berkenan, saya ingin berdiskusi tentang ini. Berikut kontak saya, nurulasrimulyani@yahoo.co.id.
Ditunggu, Pak.
Terima kasih.